Arsiptektur: Pencarian Jati Diri Manusia
- 12 mins“… arsip -sekecil apa pun- mampu bergulir dalam berbagai kesempatan, menciptakan rangkaian akumulasi pengetahuannya sendiri, ketersebaran dan kemudahan aksesnya, sehingga informasi arsip tersebut memiliki “nafas” yang lebih panjang sebagai bagian dari sejarah masyarakatnya.”
– Anna Mariana, “Menghidupkan Arsip, mencipta Wacana”, dalam Arsipelago –
Tanpa perlu melihat ke kalender, kita ketahui bahwa saat ini kita tengah berada di tahun 2016 Masehi, setelah 108 tahun sejak berdirinya organisasi pemuda Boedi Oetomo, 88 tahun berlalu sejak dirumuskannya sumpah pemuda, 71 tahun sejak dirumuskannya proklamasi, 51 tahun sejak ditumbangkannya PKI, 38 tahun sejak dimandulkannya kebebasan akademis dengan NKK-BKK, dan 18 tahun sejak jatuhnya orde baru dan mulainya era reformasi. Ada apa dengan 2016? Tidak ada yang bisa menjawab pada dasarnya, karena selayaknya membaca novel, kita tidak akan pernah paham keseluruhan kisah sebelum mencapai akhir dari cerita, tapi minimal, kita bisa memahami apa yang telah terjadi dari awal kisah hingga titik dimana kita tengah membaca. Tapi tentu, bila kita langsung membuka halaman tengah novel dan memulai membaca, kita akan merasa bingung pada kisah yang sesungguhnya terjadi, dan hanya bisa menerka-nerka.
Terperangkap dalam Kebingungan
Ada yang pernah menonton film dari tengah-tengah? Bingung bukan? Nah, itulah yang terjadi apabila di masa kini kita tidak punya pemahaman cukup terkait apa yang terjadi di masa lalu, ketika kita seakan memulai membaca suatu kisah dari tengah-tengah, tanpa mencoba memahami keseluruhan kisah dari awal. Dalam konteks khusus di kemahasiswaan, tahun 2010-an, atau mungkin bahkan 2000-an alias paska reformasi, adalah masa ketika kemahasiswaan tengah bingung, tak paham apa yang ia harus lakukan, tak mengerti apa yang tengah terjadi. Hingga apa? Well, lihatlah kondisi saat ini.
Dunia kemahasiswaan tengah diliputi ragam tanda tanya terkait begitu banyak anomali yang membingungkan pada masa kini. Permasalahan-permasalahan dari sukar tercapainya kuorum, partisipasi anggota, hingga arah dan metode pergerakan menjadi makanan keseharian yang pada akhirnya cenderung menghasilkan kebuntuan. Berbagai gejala apatisme mulai bermunculan dan memperlihatkan bahwa dunia kemahasiswaan menjadi dunia yang sudah tidak menarik lagi bahkan oleh mahasiswa sendiri. Kuantitas dan kualitas pergerakan mahasiswa sebagai yang dianggap taring sesungguhnya mahasiswa pun mengalami penurunan secara gradual dari tahun ke tahun. Padahal, dengan begitu banyaknya permasalahan yang meliputi lingkungan kita, dari yang paling dekat sekitar kampus, hingga jauh meluas ke tataran nasional, kita tidak bisa memalingkan muka begitu saja dan menjadi orang buta munafik yang berbicara lantang terkait perubahan namun mata tidak melihat apa-apa.
Kita bisa akui bersama bahwa dengan adanya perkembangan teknologi digital yang begitu pesat, globalisasi, dan beragam kondisi lainnya, secara perlahan kondisi sosial politik ekonomi sosial budaya kita sekarang mengalami transformasi menuju keadaan yang belum bisa kita cerna dan terka. Maka tentu ragam pertanyaan yang membayangi dunia kemahasiswaan saat ini tidak bisa dijawab dengan mudah, mengingat kita hanyalah suatu eksistensi yang lantas berhadapan dengan suatu zaman tanpa ada persiapan dan perbekalan apapun. Terlalu banyak klaim dan asumsi yang muncul tanpa ada penyelidikan lebih lanjut sehingga kita tidak pernah bisa menjawab semua pertanyaan yang ada tanpa bekal yang lengkap. Dari mana bekal jawaban ini kita bisa dapatkan? Satu kunci utama adalah sejarah.
Eksistensi Bentukan Sejarah
Bisa saja memang, putuskan rantai sejarah, dan mulailah mendefinisikan semuanya cukup berdasarkan keadaan saat ini. Kita bisa mengatakan sekarang adalah era inovasi, era kewirausahaan, era ini, era itu, dan langsung mendefinisikan ulang bahwa cukup kemahasiswaan adalah apa yang bisa kita lakukan saat ini, bukan apa yang harus kita lakukan. Tapi tentu, kita tidak bisa menafikan suatu fenomena alamiah yang mana suatu eksistensi membentuk identitasnya melalui masa lalu, ketika esensi perlahan mengeras menjadi sebuah jati diri.
L’existence precede l’essence, kata Sartre. Eksistensi ada terlebih dahulu sebelum munculnya esensi. Terlepas dari dialektika terkait opini eksistensialis ini, ambillah makna bahwa memang semua eksistensi terus menerus membentuk esensinya melalui pengalaman-pengalaman yang ia lalui. Seperti halnya setiap manusia tentu terbentuk dari pengalaman hidupnya sejak kecil. Bayi itu lahir terlebih dahulu untuk kemudian perlahan membentuk identitasnya, esensi yang menjadi jati dirinya. Terkait ini, tentu mahasiswa bukanlah makhluk yang baru lahir kemarin sore.Asal mula eksistensi mahasiswa sebenarnya tidak bisa ditentukan dengan pasti, walau mungkin bisa abil titik ketika sejak Muhammad Yamin mengusulkan nama itu mengingat betapa beliau sangat mengagungkan peran pemuda terpelajar dalam membangun bangsa. Atau, bisa saja kita menganggap asal mula eksistensi mahasiwa adalah Kongres Pemuda II yang mana terciptanya Sumpah Pemuda sebagai simbol bersatunya pemuda untuk membangun bangsa, walau memang nama mahasiswa belum dimunculkan pada saat itu.
Darimanapun asalnya, yang jelas, mahasiswa sudah memiliki sejarah yang tidak bisa dikatakan singkat. Tahun demi tahun terlewati selagi identitas mahasiswa terbentuk dengan sendirinya melalui kegiatan-kegiatan dan perjuangan-perjuangan yang mereka lakukan. Identitas ini tidak hanya terbentuk dari dalam dunia kemahasiswaan sendiri, namun juga terbentuk dari luar dengan paradigma-paradigma umum terhadap kemahasiswaan yang juga mulai terpatri. Maka tentu saja, istilah-istilah bahwa mahasiswa adalah agen perubahan, penjaga nilai, dan semacamnya bukanlah identitas yang melekat tanpa sebab. Memakai identitas tersebut tanpa memahami konteks dan sebabnya hanya akan menghasilkan sebuah identitas kosong, eksistensi tanpa jati diri.
Sayangnya, pemahaman kita tentang sejarah kemahasiswaan masih cenderung bolong-bolong dan tidak utuh. Kita hanya secara parsial mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi tanpa memahami keseluruhan konteks pada kisah. Mengingat dunia ini berada dalam jaring-jaring kompleks keterkaitan, semua hal yang ada pada suatu titik waktu bisa menjadi penyebab terjadinya sesuatu pada waktu itu. Ketika berbicara mengenai terbentuknya KM ITB misalnya, dari kondisi sosial masyarakat, kondis perpolitikan dunia, keadaan perekonomian, keadaan kampus, siapa saja yang berperan, kebijakan apa saja yang eberlaku, apa saja yang terjadi pada sekitar waktu itu, semua menari bersama takdir untuk kemudian menciptakan KM ITB dengan konsepsinya yang kita agung-agungkan hingga saat ini, bukan sesuatu yang sim salabim muncul begitu saja.
Memahami suatu konteks peristiwa yang tidak utuh hanya akan mengakibatkan kekeliruan pemikiran seperti post hoc ergo propter hoc pasti terjadi, sebuah fallacy yang hanya mengaitkan sebab dan akibat suatu peristiwa hanya dari urutan terjadinya peristiwa tersebut. Relasi antar kuasa pada setiap elemen dalam satu kerangka waktu sejarah harus diteliti secara komprehensif dan dilihat secara holistik untuk memahami keutuhan kisah. Untuk itu, sangat diperlukan kelengkapan pemahaman kita mengenai sejarah sebelum klaim-klaim dan asumsi-asumsi dangkal muncul.
Arsip, Media Ingatan
Masa lalu tidak berlalu begitu saja tanpa meninggalkan jejak, walau hanya sekedar ingatan-ingatan pelakunya. Terkadang, sebagian dari ingatan-ingatan itu tertuang dalam beragam dokumen yang memang sengaja diciptakan sebagai bukti kebenaran adanya ingatan itu. Nota-nota pembelian, laporan pertanggungjawaban, proposal, koran, majalah, foto, hingga catatan-catatan kecil memang diciptakan sebagai media kristalisasi ingatan dalam bentuk materi berkonten agar tidak hanya jadi milik pelaku ingatan. Namun sayangnya, semua media yang kemudian ku sebut sebagai arsip itu hanya menjadi formalitas kaku yang sekedar dimanfaatkan begitu saja tanpa ada proses penyimpanan dan perapihan terstruktur.
Kesadaran terhadap pentingnya arsip bisa ku katakan terlihat sangat minim di KM ITB. Hal ini bisa dinilai dari betapa sulitnya melacak beragam dokumen paling tidak hingga 10 tahun ke belakang. Hal ini patut disayangkan karena buruknya pengarsipan inilah yang menjadi penyebab utama butanya kita terhadap sejarah. Mungkin bisa saja kita mendapat cerita-cerita dari alumni-alumni atau pelaku terkait untuk mengetahui apa saja yang terjadi di masa lalu, namun hal tesebut tidak bisa menjamin terjaganya makna karena distorsi pemahaman antara yang bercerita dan pendengar. Selain itu, dokumentasi langsung pada masa terjadinya peristiwa, dengan cerita yang disampaikan jauh hari setelah peristiwa terjadi akan sangat berbeda perspektifnya. Apabila sejarah hanya disampaikan dari mulut ke mulut, distorsi yang terjadi akan terus membesar hingga mungkin pada suatu titik, sejarah itu benar-benar putus atau maknanya berubah jauh dari yang sesungguhnya.
Arsip sebagai “frist hand knowledge” merupakan emas bagi yang sadar betapa pentingnya mengingat sejarah. Sayangnya, pemahaman kita terhadap arsip begitu sempit sehingga hanya cenderung dijadikan formalitas dalam berkegiatan. Atau disisi lain, arsip dijustifikasi seolah-olah hanya urusan para sejarawan yang bergelut dengan masa lalu. Padahal setiap manusia pada dasarnya adalah sejarawan, setiap manusia mencipta ingatan dan merefleksi ingatan-ingatan sebelumnya. Bedanya hanyalah pada seberapa rapih kita merapikan ingatan tersebut dalam pendokumentasian yang konsisten dan pengaturan dokumen yang terstruktur. Sempitnya pandangan terhadap arsip ini juga cenderung disebabkan paradigma umum kita yang melulumelihat sejarah secara ideologis dan moralis, yang mana sejarah hanya dikaitkan pada konsep yang lebih besar seperti nasionalisme. Padahal, pada dasarnya sejarah hanyalah kumpulan ingatan yang perlu kita refleksi untuk memaami keadaan masa kini dan siap untuk menghadapi masa depan.
Literasi, Sang Arsi(p)tek
Arsip pada dasarnya adalah kristalisasi ingatan dalam bentuk materi, entah itu tulisan, foto, video, atau artefak-artefak lainnya.Di antara semua materi tersebut, memang hanya tulisan yang bisa mengejawantahkan makna ingatan dengan lebih jelas ketimbang lainnya, selain tentu tulisan lebih efisien dan praktis untuk disimpan. Tulisan merupakan bentuk paling sederhana tuangan ide dan gagasan. Bahkan bisa dikatakan tanpa adanya tulisan, pemikiran apapun tidak punya media lain untuk diabadikan. Itulah kenapa peradaban sesungguhnya dibangun oleh dua tindakan dasar: membaca dan menulis. Dua tindakan dasar ini lah yang kemudian disebut keberaksaraan atau literasi.
Tanpa ada budaya literasi yang baik, segala sesuatu akan mudah ditelah oleh waktu, hilang dalam sejarah. Literasi adalah proses pengabadian kisah dan sejarah agar terus bisa menjadi titik tolak untuk berkembang selanjutnya, karena jelas bahwa dengan literasi, setiap peristiwa, gagasan, dan pemikiran selalu tertuang dan terkristalisasi dalam arsip-arsip tulisan. Maka bukanlah omong kosong ketika Pram menyatakan bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Dari sini juga kita bisa lihat bahwa kualitas dan kuantitas arsip adalah parameter yang baik terkait majunya peradaban, karena itu akan menentukan seberapa terbangun budaya literasi pada suatu masyarakat.
Kemahasiswaan sendiri pun merupakan suatu bentuk masyarakat yang memiliki sejarahnya sendiri. Seharusnya dengan literasi yang baik, kita bisa memiliki banyak pedoman untuk memahami identitas kemahasiswaan yang sesungguhnya. Dari beberapa segi, tidak bisa ku katakan bahwa literasi di dunia kemahasiswaan masa lalu buruk, karena beberapa arsip yang kutemukan menunjukkan kualitas literasi yang dihasilkan cukup mengagumkan. Namun yang perlu diperhatikan di sini adalah kerapihan danusaha untuk menjaga dan menyimpan arsip-arsip literasi tersebut. Hingga akhirnya sekarang, semua hasil literasi itu tercecer dan hanya menyisakan kepingan-kepingan puzzle sejarah yang kita pahami secara parsial.
Melihat keadaan masa kini, yang mana budaya literasi menurun terus menerus sebagai akibat logis dari kemajuan teknologi, patut dikhawatirkan bahwa kita tidak bisa mewariskan banyak arsip untuk menjadi kristalisasi kisah dan pembelajaran untuk generasi berikutnya. Dari sekian banyak mahasiswa S1 di ITB saat ini, bisa dihitung dengan mudah jumlah mereka yang memiliki semangat untuk menulis. Padahal, sesungguhnya tidak ada yang sulit dari menulis, karena sekedar catatan harian pun, dengan bahasa seinformal mungkin, tetap akan menjadi emas di masa mendatang kelak sebagai sebuah arsip sejarah yang mengisahkan kejadian di masa lalu. Di sisi lain, kesadaran kita untuk merapihkan setiap dokumen yang dihasilkan dari setiap kegiatan dan mewariskannya secara utuh ke generasi berikutnya pun masih minim. Entah bagaimana kelak di masa mendatang, hubungan generasi-generasi berikutnya dengan sejarah semakin jauh atau bahkan putus sama sekali.
Sebuah Ajakan
Kita memang sudah cukup lama berada dalam kebingungan, namun apakah akan terus bertahan seperti ini? Tentu kita sudah cukup jenuh dengan permasalahan-permaslahan klasik terkait kemahasiswaan, atau jenuh dengan kesalahan-kesalahan yang terus terulang tiap tahunnya, seakan tengah berada dalam paradoks, kutukan kemahasiswaan. Lantas bagaimana? Terkait ini, aku punya dua solusi: (1) lengkapi sejarah kita dengan pengumpulan dan pelacakan arsip-arsip sebagai first hand knowledge dan dengannya kita bisa menganalisis semua relasi kuasa yang tercipta hingga kemudian membentuk paradigma kemahasiswaan pada masa kini, dan (2) budayakan kembali literasi sebagai media pengejawantahan ingatan dan pembelajaran, untuk kemudian dirapihkan bersama arsip-arsip lainnya agar kelak di masadepan, generasi penerus tidak sebuta kita sekarang terkait apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu. Dua hal ini adalah upaya pengarsipan, bagaimana arsip masa lalu terkumpulkan, dan bagaimana arsip masa kini terwariskan.
Aku pribadi telah memulai proyek pengarsipan sejak pertama kali menyadari betapa banyak arsip HIMATIKA ITB yang tercecer dan melihat betapa dari semua arsip yang ku temukan, pandanganku terhadap sejarah perlahan dicerahkan dan diluruskan. Sejak saat itu aku mulai mengumpulkan sebanyak mungkin arsip untuk kemudian aku digitalisasi, rapihkan, dan simpan secara terpusat. Proyek pengarsipan ini lebih lanjutnya akan menjadi sebuah riset sejarah yang akan sangat membantu kita semua mendefinsikan ulang identitas kita sebagai mahasiswa, bagaimana kita bergerak, dan apa sesungguhnya peran kita terhadap masyarakat.
Menghidupkan arsip tentu bukanlah hal yang mudah. Melacak masa lalu sendiri tentu bukan segampang membalikkan telapak kaki. Mengingat begitu buruknya pengarsipan kita, terlalu banyak arsip-arsip yang tercecer kemana-mana, entah di alumni, dosen, perpustakaan, bekas-bekas koran, organisasi, dan lain sebagainya. Apalagi, umur kemahasiswaan tidaklah muda lagi, membuat begitu besar rentang sejarah yang harus kita lengkapi agar paradigma kemahasiswaan kita bisa utuh. Mengumpulkan semua itu dan kemudian melengkapi sejarah kita yang bolong-bolong adalah sebuah perjalanan yang panjang bila dilakukan olehku sendiri. Mungkin bisa, tapi akan membutuhkan waktu bertahun-tahun, yang mana hingga riset ini selesai, bisa jadi kemahasiswaan kita sudah benar-benar berevolusi ke bentuk yang benar-benar berbeda.
Maka dengan ini, meneruskan ajakan kawan saya Haris yang telah melakukan hal yang sama 2 tahun yang lalu, aku mengajak Kabinet KM ITB, Kongres KM ITB, HMJ-HMJ, Unit-unit kegiatan mahasiswa dan siapapun individu yang memiliki kesadaran yang sama terkait hal ini, untuk menjalankan dan mendukung proyek pengarsipan ini bersama-sama, agar kita dapat lebih paham sejarah kita sendiri, identitas kita sendiri, untuk dunia kemahasiswaan yang lebih baik. Selain itu, marilah bersama-sama juga tingkatkan budaya literasi, tuliskan apapun yang bisa dituliskan, lalu arsipkan dengan baik, kumpulkan, rapihkan, dan kalau bisa publikasikan secara kolektif, bukan sekedar dibiarkan tercecer di dunia maya. Insya Allah, generasi di masa depan yang akan mendapatkan manfaatnya.
Salam Pembebasan!
(Mungkin) Menteri Pusat Studi Gerakan dan Kajian Kebijakan Nasional
(PHX)