Antara Intelektual dan Sebuah Institut 4: Entrepreneurial University

Antara Intelektual dan Sebuah Institut 4: Entrepreneurial University

- 14 mins

Mungkin ini hanya rangkuman dan tambahan singkat dari 3 tulisan sebelumnya. Karena sebenarnya wacana mengenai ITB tidak akan merambat terlalu jauh dari bagaimana fungsi ITB sebagai sebuah pabrik intelektual. Keinginan untuk menulis tulisan lanjutan sebenarnya sudah ada sejak obrolanku dengan Pak Hendra terkait semakin minimnya orang-orang yang mengabdikan diri untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan adanya seminar oleh MWA- WM beberapa hai yang lalu, aku memunculkan kembali wacana itu ke pikiranku, walau sebenarnya tidak banyak konstruksi ide yang bisa dilakukan. Yah, semoga bermanfaat saja.


Banyak yang bilang bahwa pendidikan merupakan kunci dari berkembangnya suatu bangsa. Tidak bisa dipungkiri memang, pendidikan memegang peranan penting dalam pengembangan manusia, dari keterampilan dasar, pengetahuan, hinggakkarakter. Itulah kenapa wacana mengenai pendidikan sesungguhnya merupakan wacana yang tidak pernah habis terbahas selama bangsa itu masih ingin terus mengembangkan diri. Sudah jelas bahwa proses pendidikan bukanlah proses yang singkat, bahkan bertingkat-tingkat pada praktik formalnya, dari dasar, menengah, hingga tinggi. Jika melihat dari tujuan luhur pendidikan, yakni memanusiakan manusia, tentu mereka yang telah menempuh keselurhan tingkat bisa lebih “termanusiakan” dengan kematangan pikiran maupun karakter yang secara utuh terwujud dalam diri seorang individu. Dari sini lah kemudian muncul istilah intelektual. Ya, kaum yang dikatakan menjadi pemegang arah perubahan.

Ada apa dengan kaum intelektual? Sudah banyak wacana bisa dibahas terkait makhluk yang satu ini, termasuk 3 tulisan sebelum ini (bagian 1, bagian 2, bagian 3). Memang cukup menarik bila kita bisa telaah terus menerus mengenai kaum intelektual, mengingat memang bukanlah sebuah kekeliruan bila dikatakan bahwa dari kaum inilah perubahan bisa diciptakan. Setelah mencob membahasnya pada dua tulisan pertama, seperti halnya tulisan ketiga, penulis kali ini tertarik untuk membahas pabrik yang memproduksinya: perguruan tinggi. Mungkin judulnya kelak akan sedikit kurang relevan karena yang saya bahas bukan sekedar sebuah institut, namun perguruan tinggi secara lebih luas, mengingat institut hanyalah salah satu bentuk perguruan tinggi berdasarkan UU No. 12 Tahun 2012.

Dilema Pendidikan Tinggi

Bila berbicara mengenai pendidikan tinggi, tentu saja apa yang terbayang adalah kampus-kampus dengan beragam macam gambaran dan nama, beserta rangkaian proses kuliah, kegiatan-kegiatan, dan riset-riset. Bayangan tersebut tidak lah salah, walau mungkin bayangan mengenai Academia yang dibangun plato dulu, bisa sangat lah jauh berbeda. Pendidikan tinggi secara sederhana merupakan tingkatan lanjutan proses pendidikan formal dari pendidikan menengah, yakni SMA/SMK dan SMP. Karena tidak ada lagi tingkatan di atasnya, bisa dikatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan gerbang terakhir proses pendidikan formal yang dilalui manusia, walau sebenarnya pendidikan tinggi itu sendiri masih berjenjang, dari diploma satu hingga doktoral.

Sebagai sebuah gerabang terakhir proses pendidikan, pendidikan tinggi harus bisa menyelesaikan tujuan pendidikan selengkap mungkin pada tataran ini karena tidak bisa lagi ‘menitip’ untuk diselesaikan pada tingkat berikutnya. Setelah melalui pendidikan tinggi, minimal seseorang pasti akan memasuki dunia kerja, atau dunia dimana pembelajaran tidak lagi dibekali pengaman atau pemakluman. Maka demikian tentu beban pendidikan tinggi tidaklah ringan, ia menjadi penentu akhir bagaimana manusia yang kelak membangun negara, apalagi mengingat sesungguhnya manusia yang diharapkan oleh tujuan luhur pendidikan tidaklah mereka yang sekedar cerdas, pintar, ahli, atau terampil pada suatu bidang, namun berkepribadian, berkarakter, dan berbudaya. Namun sayang, hal-hal terakhir inilah yang jarang dilirik, seakan pendidikan karakter terhenti di pendidikan menengah.

Paradigma mengenai pendidikan tinggi cenderung bergeser ke arah keterampilan dan pengetahuan ketimbang tujuan sesungguhnya dari apa yang disebut dengan pendidikan. Metode-metode pengajaran di kelas maupun atmosfer yang tercipta di kampus tidaklagi menekankan pembinaan karakter dan budaya, walaupun masih ada serpihan-serpihannya terlihat dalambeberapa kondisi. Peningkatan human capital berbasis pengetahuan dan keterampilan ini menggeser jauh definisi manusia yang seharusnya ‘dimanusiakan’ melalui proses pendidikan.

Pembahasan mengenai bagaimana seharusnya pendidikan akan menjadi wacana yang cukup panjang, yang sudah sebagian ku bahas pada tulisan yang lain (Penindasan Pendidikan Bagian 1 & Bagian 2). Pendidikan selalu mengalami dilema yang sangat besar dengan adanya globalisasi dan kebutuhan-kebutuhan lainnya dalam konteks negara. Kebutuhan tenaga-tenaga terampil dan inovatif yang dibutuhkan untuk pembangunan selalu dibebankan pada pendidikan tinggi, membuat pendidikan semakin hilang arah. Kebebasan dan kebenaran akademis hanya menjadi ‘alat’ dan metode, bukan menjadi hal yang ingin disempurnakan untuk membangun kesadaran manusia seutuhnya. Apakah ini masalah? Pertanyaan itu menjadi semakin kesulitan mencari jawaban. Di sisi lain, tentunya kita akan sangat merindukan pendidikan tinggi menjadi seperti Academia-nya Plato dimana pelajar-pelajar di dalamnya belajar dan berdiskusi sendiri untuk mencapai kesadaran penuh dirinya sebagai manusia yang paripurna, namun dalam sebuah zaman yang semakin kompleks, kebutuhan dalam kehidupan komunal luas setara negara membuat kita mau tidak mau pragmatis dan realistis untuk lebih mementingkan pengembangan kualitas pengetahuan dan keterampilan untuk kemajuan bersama ketimbang idealisme rumit mengenai kesadaran dan kebebasan manusia dalam menggapai kehidupannya.

Beban pendidikan tinggi sebenarnya terletak pada lulusannya,karena dari lulusannya lah bisa dinilai apa yang sesungguhnya dicapai dalam proses pendidikan formal tingkat akhir ini. Secara umum, arah lulusan ini bisa dilihat dalam 3P: Politisi, Pengusaha, dan Profesional. Pada dasarnya 3P itu adalah 3 dunia yang ‘punya kuasa’ dalam tataran masyarakat, namun dengan cara yang berbeda-beda. Terkait hal tersebut, pendidikan tinggi, atau perguruan tinggi, memegang kunci yang sangat kuat sebagai tempat dimana kebebasan berpikir diutamakan. Mimbar bebas pemikiran selalu menjadi hal yang sangat ditakuti kekuasaaan apapun. Hal ini pula lah yang membuat kampus ditekan melalui NKK/BKK pada masa orde baru, karena kampus memiliki kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Sayangnya, bergeser orde dan zaman, kampus tetap seakan terus ditekan dalam berbagai arah yang berbeda, mulai dari globalisasi, industrialisasi, liberalisasi ekonomi, kemajuan teknologi, dan lain sebagainya. Pada titik akhirnya, kekuatan yang sesungguhnya dimiliki kampus untuk menyeimbangkan 3 dunia tersebut semakin menumpul dengan adanya tuntutan-tuntutan lain yang menyingkirkan tujuan kampus sesungguhnya.

Akhir-akhir ini disemarakkan pembahasan mengenai bahwa agar suatu negeri dapat menjadi makmur, paling tidak 2% populasinya merupakan wirausahawan, pembahasan yang membuatenterprenurship menjadi sesuatu yang diagung-agungkan sehingga menjadi fokus pengalih dalam pengembangan diri dan pendidikan. Hal ini terkait dengan pengembangan jiwa-jiwa inovatif dalam rangka mewujudkan kemandirian ekonomi. Tentu ini tidak salah, karena kewirausahaan sendiri merupakan satu dari 3 dunia yang menjadi kunci utama dinamisasi masyarakat, tapi apakah lantas kemudian ia mengalihkan konsentrasi pendidikan tinggi? Entah seberapa signifikan, namun sudah mulai terlihat pergeseran arah di dunia kampus yang mana hal-hal terkait inovasi dan kewirausahaan cenderung lebih diminati ketimbang hal-hal lainnya. Padahal, bila melihat persaingan sesungguhnya di pendidikan tinggi, yang secara sederhana diukur dengan tolok jumlah jurnal yang dipublikasikan, Indonesia masih jauh dari kurang. Hal ini bisa jadi disebabkan fenomena ketika dunia profesional mulai jarang dilirik oleh kalangan mahasiswa sebagai titian karir yang akan dibangun dalam hidupnya. Kerja di suatu perusahaan, atau menciptakan usaha sendiri adalah tren paling utama yang muncul terkait lulusan perguruan tinggi ketimbang fokus di bidangnya, menjadi praktisi atau peneliti untuk kemudian terus menerus memproduksi karya-karya akademis demi meningkatkan kualitas pengembangan ilmu di Indonesia. Jika dalam rangka mengembangkan ilmu saja perguruan tinggi masih belum bisa mencapainya dengan baik, bagaimana dengan tujuan sesungguhnya pendidikan untuk membina dan mendidik karakter bangsa?

Untuk bisa meningkatkan kualitas lulusannya sendiri pun, pendidikan tinggi tidak bisa serta merta melihat proses sebagai faktor utama. Karena menjadi tingkatan pendidikan terakhir, pendidikan tinggi sebenarnya mendapatkan ‘sisa’ dari tingkatan-tingkatan sebelumnya untuk diselesaikan. Input peserta didik yang memasuki tingkatan pendidikan tinggi telah melalui tahun-tahun yang berbeda sebelumnya, sehingga adalah sebuah kesulitan besar untuk menyamakan semua masukan yang berbeda-beda ini untuk menjadi keluaran dengan standar yang setara. Itulah kenapa pertanyaan mengenai kenapa seakan-akan kebutuhan sarjana yang berkualitas di Indonesia tidak pernah terpenuhi tidak bisa dilihat sebelah mata hanya dari pendidikan tinggi. Semua itu terkait dengan masukan peserta didik yang memasuki dunia pendidikan tinggi sendiri, kualitas pendidikan tingginya, jumlah kursi yang tersedia, hingga kesadaran untuk menempuh pendidikan. Semua faktor ini cukup sulit terbaca dengan baik karena saling mempengaruhi. Apakah memang jumlah kursi yang tersedia di pendidikan tinggi kurang, atau sebenarnya sudah cukup namun tidak diiringi dengan kesadaran masyarakat untuk menempuh pendidikan tinggi? Atau apakah kualitas pendidikan tingginya yang bermasalah, ataukah masukan peserta didiknya sendiri yang cukup sulit untuk dibentuk sehingga permasalahannya menyeleruh ke semua tingkatan pendidikan?

Memang jika melihat permasalahan pendidikan, akan cukup sukar jika hanya melihat secara parsial karena pendidikan sendiri merupakan satu keutuhan proses dari manusia lahir hingga dewasa. Sayangnya, karena merupakan pabrik keluaran terakhir, pendidikan tinggi seakan diberi beban terbesar untuk menyelesaikan semuanya. Padahal di pendidikan tinggi sendiri, perhatian terhadap pendidikan karakter dan budaya sangatlah minim. Seperti yang sudah saya jelaskan pada tulisan saya yang ke-3, perguruan tinggi seperti ITB cenderung ‘pincang’ karena hanya menghasilkan manusia-manusia terampil dan berpengetahuan namun minim kesadaran dan wawasan sosial. Walau sebenarnya secara dilematis hal ini disebabkan oleh faktor-faktor yang juga sulit untuk dihindari dan diselesaikan. Memang akhirnya seperti yang dikatakan seorang dosen, “ITB under pressure”. Mempertahankan idealisme pendidikan di zaman yang semakin maju ini adalah sebuah perjuangan yang tidak mudah. Apalagi dengan adanya MEA, tujuan utama pendidikan semakin terkikis dan terkoyak, membuat Plato mungkin hanya bisa menangis melihat keadaan.

Kapitalisasi Ilmu

Dilema yang dialami ITB sebagai sebuah institusi pendidikan tinggi memang cukup besar. Apalagi ITB semakin diarahkan menjadi pusat riset dengan dibangunnya fasilitas-fasilitas baru yang terkait dengan pengembangan ilmu. Tentu saja hal ini merupakan hal yang bagus jika melihatnya dalam rangka untuk meningkatkan kualitas riset dan publikasi jurnal di Indonesia. Tapi apakah memang niat baik untuk memajukan riset ini dilakukan dengan semestinya? Salah satu tantangan terbesar dari pengembangan riset di semua negara adalah besarnya dana yang dibutuhkan. Hal itu juga lah yang dialami Indonesia, hingga akhirnya muncullah konsep triple helix yang juga mengarah pada paradigma entrepreneurial university. Triple helix pada dasarnya adalah ide untuk menggabungkan 3P agar tersinergikan dengan baik. Pengusaha alias dunia bisnis dan industri menyediakan modal riset sekaligus berperan untuk mengaplikasikan secara langsung semua hasil riset agar bisa dinikmati oleh masyarakat, profesional alias dunia akademik sebagai penyedia modal manusia, ide, dan invoasi untuk kemudian langsung dikembangkan lebih lanjut oleh industri, dan politisi alias dunia pemerintahan menyediakan regulasi yang dibutuhkan agar dua dunia yang lain bisa terkoordinasikan dengan baik. Namun pada akhirnya dalam interpretasi yang berbeda, hubungan antara dunia industri dan dunia akademik bisa semakin memperjelas bagaimana ilmu semakin terkapitalisasi.

Entah apakah Indonesia sudah terjadi sejauh apa, namun yang pada akhirnya terjadi adalah riset cenderung dimodali oleh industri dan bisnis yang mana kelak hasilnya dijadikan paten perusahaan terakit dan menjadi rahasia dagang. Riset yang seharusnya tidak boleh didorong motif mendapatkan laba hanya menjadi idealisme palsu kaum akademis. Mau tidak mau mereka membutuhkan uang, entah untuk dirinya sendiri atau keberjalanan riset tersebut. Mengulang kutipan saya terhadap kata-kata Albert Einstein, “Hampir semua ilmuan adalah orang yang dari segi ekonomi tidak bebas”. Ilmuan adalah pekerjaan yang cenderung dibayar bila hasilpenemuannya bisa digunakan oleh kepentingan terkait, entah oleh industri atau pemerintah. Ilmu semakin direnggut kebabasannya dengan terus dijadikan permainan antar kepentingan. Meski begitu, sebenarnya memang hal seperti itulah yang terjadi pada negara-negara yang telah menerapkan triple helix dengan baik. Riset-riset dikembangkan untuk kelak jadi paten yang diperjualbelikan, yang mana kemudian akan terus memicu inovasi-inovasi baru yang signifikan. Hubungan antara kaum akademis dengan bisnis pun sebenarnya tidak harus terjadi secara institusional. Rekrutmen ilmuan-ilmuan oleh perusahaan-perusahaan untuk pengembangan produknya pun menjadi bagian dari semakin terkekangnya kebebasan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini, seharusnya kampus lah yang menjadi pelindung kebebasan tersebut, namun pada akhirnya tetap saja begitu banyak dilema yang juga akhirnya menekan kampus untuk mengikuti arus peradaban ketimbang bertahan pada idealisme kebebasan pengetahuan.

Apa yang dibawa oleh ITB saat ini, sebuah konsep yang dinkenal dengan enterpreneurial university mungkin dianggap sebagai sebuah solusi tersendiri untuk menengahi dilema tersebut. Definisi dari enterpreneurial university (EU) yang dijelaskan oleh ITB sebenarnya tidak cukup jelas menggambarkan apa yang sebenarnya dibangun dari konsep ini. Apa yang tercantum di renstra pendidikan ITB, yang mana menjelaskan sedikit mengenai 3 ciri EU, yakni excellence in teaching, excellence in research, excellence in innovation, sebenarnya tidak mendeskripsikan secara jelas apa yang sebenarnya ingin dicapai dari EU. Memang pendefinisian dari EU bisa sangat beragam bergantung perspektif. Tapi pada intinya, seperti yang dijelaskan oleh National Centre for Entrepreneurship in Education (NCEE) di Inggris, EU adalah konsep yang mengedepankan enterprise sebagai kerangka berpikir untuk ditanamkan pada peserta didik maupun pengaturan riset dan invoasi di perguruan tinggi. Oxford dan Cambdridge sebagai yang telah sukses menerapkan prinsip EU pantas dijadikan cermin dalam hal ini.

Kerangka Enterprise yang dimaksud di sini adalah bagaimana kita bisa menjadi penguasa diri kita sendiri, artinya tidak tunduk ataupun berada di bawah yang lain. Dalam dokumen ‘The Entrepreneurial University, From Concept to Action’ yang dikeluarkan oleh NCEE, terjelaskan bahwa “The Enterprise Concept focuses upon the development of the ‘enterprising person and entrepreneurial mindset’. The former constitutes a set of personal skills, attributes, behavioural and motivational capacities (associated with those of the entrepreneur) but which can be used in any context (social, work, leisure etc)”. Dalam konteks pengembangan ilmu dan teknologi, ini diwujudkan dalam pengendalian arah pemanfaatan ilmu dan teknologi oleh kampus agar bisa mandiri tanpa harus bergantung pada industri. Inovasi yang dikembangkan bisa lebih luhur menerapkan kebebasan pengetahuan dan tidak terkontaminasi kepentingan apapun. Kita bisa melihat contoh apa yang dimikili Oxford, yakni Isis Innovastion Limited, sebuah perusahaan transfer teknologi yang sepenuhnya dimiliki oleh Oxford sendiri. Karya dan aset intelektual dalam suatu kampus pun bisa lebih terfasilitasi dan teroptimalkan tanpa harus terkena campur tangan kepentingan sektor privat.

Konsep tersebut sebenarnya sudah dicoba diterapkan oleh LIPI, yang mana peneliti-peneliti di sana difasilitasi untuk memiliki paten dan kontrol terhadap karyanya sendiri. Namun, LIPI bukanlah sebuah institusi pendidikan, sehingga tidak ada unsur pengembangan manusia yang terfokus selayaknya perguruan tinggi. Di lingkungan kampus, penananaman konsep entrepreneur pada peserta didik dapat membantu menumbuhkan kemandirian dan kreativitas. Dalam hal ini, konsep luhur pendidikan yang mana seorang manusia seharusnya memiliki kesadaran penuh akan hidupnya sendiri menjadi hal yang pararel bisa diwujudkan melalui penanaman konsep enterprise dalam pengembangan peserta didik. Namun hal yang perlu ditekankan di sini adalah penyeimbangan orientasi dan pemahaman agar tidak adanya kepincangan dalam paradigma berpikir. Walaupun begitu, tetap saja kemurnian ilmu sulit diselamatkan dari kapitalisasi, mengingat konsep entrepreneur ini tetap akan berarah pada komersialiasi dari inovasi-inovasi yang diciptakan oleh individu maupun kelompok di universitas.

Kembali pada Kontemplasi

Bagaimana ilmu seharusnya bisa jadi hak milik semua orang sepertinya memang hanya idealisme yang kelewat utopis. Apresiasi dari karya tidak sama dengan komersialisasi dari karya tersebut, termasuk karya intelektual. Salah satu yang saya rasakan juga bahwa tekanan dan godaan komersil sebagai nilai tambah yang bisa didapatkan dari terciptanya suatu karya merupakan hal yang sulit dicegah. Dalam tataran karya intelektual seperti jurnal dan makalah, memang pembatasan akses dengan adanya biaya merupakan bagian dari pencegahan plagiarisme. Pada dasarnya memang niat luhur dari adanya hak cipta adalah apresiasi terhadap pencipta, namun sayang bila hal itu berujung pada semakin tidak bebasnya pengetahuan bagi siapapun. Tetap saja hal tersebut adalah hal yang sukar dihindari, seakan memang seharusnya seperti itu. Kapitalisasi akan semua bentuk produk manusia, termasuk ilmu sendiri sudah menjadi hal yang natural pasti terjadi dengan semua pergerakan dunia saat ini. Kampus sebagai sebuah institusi pendidikan mengalami dilema sana-sini di antara menjaga idealisme luhur pendidikan dan kebebasan ilmu dengan kebutuhan pragmatis yang muncul dari berbagai arah tekanan.

Apa yang ingin diwujudkan oleh ITB dengan konsep EU mungkin untuk menyeimbangkan dilema tersebut. Mengenai bahwa ide tidak pantas untuk diperjualbelikan pun sangat bergantung perspektif, walau sebenarnya semangat itulah yang selalu dibawa ketika pengetahuan pertama kali berkembang secara sisetematis di Yunani. Yang terpenting sesungguhnya adalah tidak melupakan tujuan sesungguhnya dari proses pendidikan, yaitu bagaimana agar manusia bisa sadar sepenuhnya dengan dirinya sendiri. Kesadaran inilah yang terwujud dalam karakter dan budaya manusia terkait. Melupakan hal-hal krusial seperti ini akan menghasilkan sarjana-sarjana pincang yang hanya akan berparadigma sempit dan nil idealisme kuat mengenai posisinya sebagai manusia.

Seperti yang dijelaskan oleh NCEE, “it is the levels of uncertainty and complexity in any environment and the associated threats and opportunities that dictate the need for entrepreneurial response”. Dunia dengan zaman yang semakin maju dan tak menentu lah yang membuat kampus terus terdesak sebagai pejuang terakhir kebebasan ilmu pengetahuan. Itulah mengapa saya sebut semua ini sebagai kutukan peradaban. Karena perkembangan peradaban saat ini hanya akan terus memberi simalakama antara realita dengan idealisme yang seharusnya dijunjung. Bagaimana kelak kita akan bertahan, kita tak bisa mengetahui dengan pasti. Sebagai mahasiswa, toh saya hanya bisa mempertahankan apa yang bisa ku pertahankan dengan semua benteng terakhir idealisme serta melakukan apa yang bisa ku lakukan untuk mewujudkannya. Untuk ITB sendiri? Entahlah.

(PHX)

Alt Text

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora