Antara Intelektual dan Sebuah Institut 2: Meninjau Posisi Intelektual

Antara Intelektual dan Sebuah Institut 2: Meninjau Posisi Intelektual

- 25 mins

Dari waktu ke waktu, bangsa bernama Indonesia telah melewati berbagai macam masa dan periode. Semua periode ini terlewati satu per satu dan semakin terus memberi bangsa ini banyak pelajaran dan hikmah untuk terus dapat memperbaiki diri. Beberapa perubahan terjadi sana sini, mengubah satu per satu setiap lini komponen bangsa dengan harapan untuk dapat menjadi lebih baik dan memenuhi cita-cita pendiri. Namun semua proses itu tentunya bukanlah sebuah jalan yang mulus, jalan bebas hambatan yang lancar dan damai. Berbagai terpaan hambatan merintangi, baik dari dalam maupun luar, terutama dengan adanya globalisasi yang saat ini menjadi musuh utama yang entah harus diajak berbaikan dan bergerak bersama atau dilawan dalam rangka proteksi dan pertahanan diri dari terkikisnya kepribadian dan jati diri bangsa.

Globalisasi yang terpicu dari adanya revolusi teknologi informasi dan akhirnya memicu revolusi di bidang-bidang lainnya membuat sekat-sekat dunia mengabur dan melepas berbagai warna dan gelombang yang segera berdifusi dalam larutan akbar universal. Perlombaan antar negara bukan lagi sekedar komparasi tapi menjadi sebuah kompetisi, persaingan yang semakin ketat layaknya pertarungan gladiator dalam satu arena, menciptakan hukum alam makro yang kompleks dan kejam, sebuah survival of the fittest.

Terlepas dari apapun musuh yang dihadapi, adalah lebih penting untuk melihat kekuatan sendiri. Walau tak terlihat nyata, Indonesia sejak ia merdeka, atau bahkan sebelum, sebenarnya telah menempuh bebagai macam perang non-fisik, perang tak kasat mata yang sebenarnya lebih menentukan berbagai perubahan yang terjadi. Karena selain bentuk nyata tanah dan nyawa masyarakat negeri ini, yang sebenarnya didirikan dan diperjuangkan dari Indonesia adalah ideologi dan budayanya. Tak hanya di negeri penuh dinamika ini sebenarnya, pertarungan pemikiran dan budaya telah menjadi dasar utama pertarungan fisik di berbagai pelosok dunia, selama ada manusia di dalamnya. Dampak yang ditimbulkannya pun bahkan lebih nyata dan luas, serta menjadi faktor utama terjadinya perubahan sosial. Tak masalah harta dan nyawa melayang, selama ide tetap bertahan, kemenangan selalu di tangan.

Lalu siapa yang sebenarnya menjadi prajurit pertarungan virtual ini? Jawabannya kita kenal dalam suatu istilah yang tak asing bagi kita, kaum intelektual, kaum yang telah menempuh panjangnya proses pendidikan dengan matang, kaum yang telah mencapai kesadaran dalam mencoba memandang segala sesuatu apa adanya. Mereka telah menjadi prajurit yang terus bertarung tanpa henti dari zaman sejak manusia pertama kali mengenal ilmu pengetahuan, hingga saat ini, zaman hiperrealitas, zaman ketika ilmu sudah mencapai titik jenuhnya untuk terus berkembang, membiarkan anak-anaknya bernama teknologi yang mengambil alih. Pertarungan yang selama berabad-abad membentuk peradaban manusia, merupakan pertarungan yang sama yang membentuk bangsa ini, dan mengembangkan bangsa ini, menjadi bentuknya saat ini. Betapa pentingnya kaum intelektual dalam pertarungan ini membuat maju mundurnya suatu bangsa dapat ditentukan dari kualitas intelektualnya.

Pertarungan Paradigma

Apa sebenarnya definisi intelektual telah dimunculkan berbagai pakar dan praktisi dari berbagai bidang yang berbeda. Berbagai perspektif pun muncul dengan beragam pendapat dalam memandang makna dari intelektual itu sendiri. Pemaknaan itu berada pada berbagai tingkatan dari mulai yang paling sempit, yang sering dipahami masyarakat awam, yaitu mereka yang berkecimpung dalam perguruan tinggi, baik sebagai mahasiswa maupun dosen, hingga yang cukup luas, seperti yang dikemukakan oleh Sharif Shaary, yaitu mereka yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana ia hadir khususnya dan di peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. Dari merangkum semua pendapat itu, seperti yang telah saya tulis pada tulisan saya sebelumnya, dapat saya katakan intelektual adalah manusia yang telah mencapai kesadaran penuh sebagai makhluk individual dan sosial setelah proses pendidikan yang sistematis.

Proses pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia, sehingga memang kaum intelektual dapat dikatakan produk akhir dari proses pendidikan yang diwujudkan melalui pabrik-pabrik berupa perguruan tinggi. Tentu dapat kita sepakati bahwa sadar berada melampaui cerdas. Timbulnya kesadaran menyeluruh akan menghasilkan keyakinan kuat akan suatu kebenaran yang telah diperjuangkannya selama menempuh proses pendidikan. Perjalanan untuk menjadi intelektual sejati dapat dicerminkan dari kehidupan Al-Ghazali yang dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase pra-keraguan yang ditandai rasa penasaran dan haus akan pengetahuan, fase keraguan yang ditandai dengan kegelisahan dan beragam pertanyaan, dan fase pencerahan yang merupakan puncak akhir kesadaran seseorang dalam menjawab semua kegelisahan ia sebelumnya. 3 fase ini pula lah yang sebenarnya dilalui para intelektual sebelum dapat menemukan kebenaran yang diyakini. Titik akhir dari proses ini akan berujung pada keyakinan kuat terhadap suatu idealisme yang memiliki dasar-dasar ilmiah yang diperoleh selama melakukan perjalanan itu.

Tentunya perjalanan seorang intelektual dalam menuntut pengetahuan tidak bertolak dari titik nol. Pengalaman, budaya, dan informasi yang dimiliki oleh subyek akan sangat mempengaruhi bagaimana sikap awal dalam menghadapi suatu rasa penasaran ataupun keraguan. Hal ini, yang dalam filsafat ilmu disebut dengan paradigma ilmiah, pun menentukan bagaimana ia akan melakukan pencarian terhadap kebenaran itu sendiri dan tentunya berimplikasi pada apa yang akan ia temukan pada titik akhir pencarian. Paradigma ini bagaikan awan kabut yang tak terlihat tapi sangat memengaruhi bagaimana seseorang memandang suatu permasalahan. Inilah yang menyebabkan kebenaran yang dianut oleh para intelektual tidak ada yang persis sama. Paradigma yang berbeda akan membawa mereka pada ideologi akhir yang berbeda.

Dari sini sebenarnya sangat jelas bahwa titik akhir dari intelektualitas bukanlah objektivitas, karena manusia tidak pernah dapat lepas dari sifat subyektifnya dalam memandang segala sesuatu. Terlalu naif apabila kita terlalu ideal menuntut diri untuk dapat memegang teguh kebenaran ilmiah dengan obyektif. Pastilah terdapat awan paradigma yang menjadi bayang-bayang di balik alam sadar masing-masing. Pentingnya paradigma dalam mempengaruhi suatu pemikiran juga dapat dilihat dari perkembangan ilmu fisika murni, yang pada masa klasik menganut paradigma materialistik yang dipelopori oleh Newton dengan mekanikanya, hingga akhirnya dipatahkan oleh berkembangnya fisika kuantum yang melahirkan benih-benih paradigma organistik dan integralistik dalam memandang semesta.

Hal ini dalam bentuk lain terlihat nyata pada pelopor-pelopor bangsa kita, yang juga menjadi contoh nyata peperangan virtual yang saya sebutkan di atas. Kita tentu mengenal Sukarno, Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, Semaun, Alimin, Muso, Darsono, atau Tan Malaka. Mereka adalah tokoh-tokoh politik di jaman Revolusi yang dapat dikatakan memiliki kesamaan sebagai seorang intelektual. Bahkan mereka semua sama-sama pernah belajar di Jl. Peneleh Gang VII/29-31, Surabaya dan pernah belajar kepada tokoh intelektualitas pergerakan HOS Cokroaminoto. Namun perbedaan paradigma ilmiah yang dipegang oleh tiap tokoh akan membawa mereka pada keyakinan akhir yang berbeda. Sukarno kemudian menjadi seorang yang Nasionalis, Kartosuwiryo yang teguh kepada Islam konservatif, Semaun-Darsono menjadi Sosialis, Muso-Alimin berubah ke arah komunis, serta Tan Malaka yang berpolitik cendrung ke kiri. Apa yang terjadi di Indonesia dan seluruh dunia dalam sejarah sebenarnya ditentukan oleh bagaimana pertarungan paradigma ini berlangsung di belakang layar.

Netralitas Politik

Adanya awan paradigma menunjukkan bahwa para intelektual tidak mungkin menganut kebenaran tunggal. Titik akhir perjalanan intelektual pasti akan menuju pemahaman ideologi yang berbeda. Tentunya apabila perjalanan dalam 3 fase ini dilalui sepenuhnya dengan baik, akan dihasilkan keyakinan yang teguh dan berbasis dialektika yang panjang dan tidak instan. Menjadi sangatlah wajar bila kaum intelektual akan berpihak dalam segi pemikiran. Netralitas akan menjadi hal yang hampir mustahil terjadi karena itu hanya akan berarti kemandulan dari intelektualitas itu sendiri. Sastrawan Italia, Dante Alighieri, dengan tegas mengutuk netralitas intelektual dalam perkataannya : “The darkest places in the hell are reserved for those (intelects) who maintain their neutrality in time of moral crisis.”

Keterpihakan seorang intelektual dalam suatu kondisi atau krisis dalam perang kebenaran sangat diperlukan dalam menjaga dinamika dialektika moralitas yang terjadi. Intelektual sebagai garda terdepan pendidikan merupakan penjaga nilai masyarakat. Karena adalah mustahil untuk mempertahankan suatu kebenaran tunggal dalam kemajemukan, maka akan selalu ada dialektika dan perang pemikiran atau ideologi dalam suatu kondisi atau krisis. Tarik ulur pemikiran ini akan selalu berujung pada sebuah sintesis kesepakatan mengenai apa yang paling tepat untuk kondisi tersebut. Diamnya intelektualitas akan menyebabkan transformasi sosial yang tidak terkendali karena tidak adanya sistem kontrol yang berasal dari dunia pendidikan. Dalam tulisan saya yang lain saya jelaskan bahwa pendidikan yang seharusya menjadi pegatur transformasi sosial malah kalah cepat ketimbang transformasi itu sendiri sebagai akibat dari globalisasi. Bagaimana pendidikan dapat melakukan kontrol ini sangat ditentukan oleh peran intelektual dalam menjaga nilai melalui pemikiran-pemikiran.

Walaupun memiliki ideologi yang berwarna, kaum intelektual dapat dikatakan manusia paling bebas karena telah menempuh perjuangan pencarian terhadap kebenaran dalam suatu proses yang tidak singkat. Mereka akan dapat menembus batas-batas kebebasan berupa bounded rationality karena telah memiliki konsep pemikiran yang matang dan kritis. Karena kebebasan inilah seharusnya kaum intelektual paling rajin bersuara dalam menyampaikan kebenaran. Vaclav Havel, dalam bukunya, Disturbing the Peace: A Conversation with Karel Hvizdala, memosisikan intelektual sebagaimirror holder atau pemegang cermin publik terhadap kenyataan dan kebenaran. Dalam melakukannya tentu seorang intelektual harus berpihak karena cermin mau tak mau selalu punya sudut pandang. Namun apabila berbagai cermin ini muncul secara bersama-sama dan melakukan dialektika, kritik, dan diskusi, tentu saja akan lahir sebuah pemahaman yang seimbang dan mewakili semua sudut pandang.

Di balik bentuk ideal dari intelektual itu sendiri, sebenarnya selalu terdapat intelektual lain yang bersembunyi di balik jubah akademis dengan menyibukkan diri dalam riset, seminar, dan hal-hal semacamnya. Intelektual tradisional ini, istilah yang dipakai Antonio Gramsci, selalu memosisikan diri di tengah-tengah dan menjaga jarak dari realitas sosial tanpa ada keberanian untuk menjadi lokomotif perubahan. Sikap apatis seperti ini sebenarnya muncul dari paradigma pendidikan yang cenderung individualistik, yang saya jelaskan pada tulisan saya yang lain sebagai paradigma yang terlalu terfokus pada human capital, menganggap keterampilan dan pengetahuan adalah segalanya, memandang manusia sebagai komoditas, dan minim tanggung jawab moral sebagai seorang makhluk sosial. Para intelektual seperti ini berdalih dengan mengatakan bahwa suara dan keterpihakannya akan merusak obyektivitas dan netralitas ilmu pengetahuan.

Tidak salah sebenarnya untuk selalu fokus pada penelitian dan pengembangan, karena itu merupakan hal yang juga cukup penting dalam peningkatan kualitas keilmuan bangsa. Namun tidaklah baik apabila hal itu membuat kita menjadi bisu seribu bahasa terhadap realitas bangsa yang terjadi. Para intelektual sekarang mungkin memang harus lebih membumi dan tidak melupakan bahwa tridharma perguruan tinggi tidak hanya pendidikan dan penelitian. Ilmu pengetahuan sebenarnya akan selalu netral dan suci sepanjang masa, namun sekalinya ia masuk ke dalam pikiran seseorang, paradigma seseorang tersebut akan menodai dan mewarnainya sesuai sistem kepercayaan orang tersebut. Adalah naif apabila kita lari dari kenyataan hanya karena ingin menjaga netralitas ilmu pengetahuan.

Memang, intelektual harus berani bersuara dan merefleksi setiap kenyataan dalam bentuk apa adanya. Hal ini tentu merupakan hal ideal dengan prasyarat khusus, yaitu bahwa intelektual tersebut adalah yang telah menempuh fase-fase pencarian kebenaran hingga menemukan keyakinan atau ideologi sendiri yang dipegang dengan teguh dan berdasar rasio. Namun pada praktiknya, hanya sedikit intelektual yang telah matang seperti itu. Kebanyakan masih tidak punya pendirian atau belum terlihat memiliki warna yang jelas sehingga bagaikan bunglon, mudah berubah-ubah sesuai kondisi. Intelektual prematur, atau dengan sebutan lain intelektual polos, seperti ini hanya akan terbawa arus dan terlunta-lunta sana-sini tanpa ideologi yang jelas, tanpa ada sesuatu yang dipertahankan. Ini akan berujung pada suara-suara dangkal yang ribut membicarakan sesuatu yang tidak jelas, mudah terbawa arus politik, dan tertindas oleh citra dan budaya. Pada akhirnya mereka lah yang akan mencoreng nama intelektualitas itu sendiri.

Intelektual yang butuh kematangan pikiran adalah sebenarnya hanyalah mereka yang telah mencapai taraf pengembangan dan pengajaran. Dosen, praktisi, pengamat, dan semacamnya merupakan golongan masyarakat yang sudah memiliki dan berkonfrontasi dengan banyak kepentingan. Oleh karena itu diperlukan integritas yang teguh untuk dapat mempertahankan diri dalam arus deras pemikiran dan karenanya perlu untuk mengambil posisi dalam keterpihakan sebagai bentuk pegangan ideologi yang telah diyakininya dari hasil pencarian kebenaran. Dapat kita lihat integritas ini dalam bentuk 6 aspek, yakni honesty (kejujuran), trust (kepercayaan), fairness (keadilan), respect (menghargai), responsibility (tanggung jawab), dan humble (rendah hati). Hal ini tentu berbeda dengan intelektual pada taraf mahasiswa yang masih berada pada posisi pembelajar dan belum memiliki banyak kepentingan. Dalam proses pengembangan intelektual, mahasiswa dapat dikatakan baru mencapai fase kedua, yakni fase keraguan. Dalam hal ini justru kepolosanlah yang diperlukan sebagai benteng kuat mahasiswa untuk memandang, mengkritisi, dan mempertanyakan segala sesuatu dalam keraguan. Kebenaran yang diyakini adalah kebenaran polos dan belum memihak. Akan menjadi aneh apabila pada taraf ini mahasiswa malah sudah berani memihak karena belum menyelesaikan proses kematangan intelektual yang sempurna. Sebagai pagar betis kepentingan-kepentingan praktis, mahasiswa harus mengambil sikap berbeda dibanding para dosen dalam hal netralitas. Kombinasi pertahanan ini yang akan menjaga stabilitas dan dinamika moralitas dan tranformasi sosial sebagai fungsi pendidikan.

Dari, oleh, dan untuk intelektual

Tidak sedikit intelektual yang pada akhirnya, dengan ideologi yang telah diraihnya, benar-benar keluar dari zona akademisnya dan memosisikan diri menjadi pelaksana dan praktisi lapangan. Ideologi ini akan segera bertransformasi dalam bentuk lain bergantung pada sektor yang didekatinya. Tranformasi ini sebenarnya tidak akan memiliki pengaruh signifikan kecuali pada sektor politik. Ia akan segera berubah menjadi sesuatu yang akan diperjuangkan dan diterapkan sedemikian rupa untuk menjadi pegangan bersama. Hal ini lah yang terjadi pada tokoh-tokoh revolusi di atas. Mereka keluar dari zona nyaman mereka dan segera memperjuangkan ideologi yang telah didapatnya dalam paradigma masing-masing. Mereka berjuang atas nama sesuatu yang sangat mereka yakini sebagai hasil sebuah pencarian yang tidak mudah dan singkat. Hal ini lah yang seharusnya menjadi warna alam politik, berdasar pada intelektualitas.

Masuknya para intelektualitas yang sangat paham pada ideologi dan paham yang dibawanya ke ranah politik inilah yang seharusnya akan menjadikan dinamika politik menjadi pertarungan yang berintegritas dan berkualitas. Yang dibawa adalah sebenar-benar ideologi yang telah menempuh penempaan dan pematangan yang lama. Yang membawanya sendiri pun merupakan orang yang sadar akan pentingnya bernegara dan bukan orang yang masuk ke dunia politik secara instan, hanya demi meraup keuntungan. Minimnya intelektual matang ke dalam ranah politik akan membuat pertarungan ideologi menjadi mengabur dalam bentuk perang citra dan figur. Hal ini pernah dibahas dalam suatu opini di kompasiana yang menyebutkan “Penyematan tanda intelek dan bukan intelek telah menjadi egoisme tersendiri bagi para pecinta diskusi, yang pada akhirnya mengarah pada satu sumbu, yaitu mengaburkan suatu kebenaran.”

Dinamika politik secara ideal seharusnya merupakan arena pertarungan ideologi. Karena ideologi lahir dari intelektualitas, sebenarnya kaum intelektual secara relatif memiliki peranan penting dalam politik. Walau memang tidak selalu secara langsung mempengaruhi politik massa ataupun memimpin dan mengorganisasikan pergerakan massa, kebebasan mereka dalam mengemukakan kebenaran menjadi poin penting intelektualitas sebagai agen perubahan sosial. James Pertas dalam papernya menyebutkan beberapa peranan intelektual antara lain (1) mempengaruhi pemimpin-pemimpin dan militan-militan partai, gerakan sosial dan politisasi klas sosial; (2) melegitimasi dan mempropagandakan secara halus sebuah rejim, kepemimpinan atau gerakan politik; (3) menyediakan diagnosa atas masalah ekonomi, politik negara, kebijakan dan strategi-strategi imperialis: (4) menguraikan solusi-solusi, strategi-strategi politik dan program-program bagi rejim, gerakan dan para pemimpin; dan (5) mengorganisasi dan berpartisipasi dalam pendidikan politik partai atau aktivis gerakan.

Sebenarnya sejauh apa peran intelektual dalam suatu negara dapat kita lihat dari fungsi intelektual itu sendiri sebagai pemegang dan pengembang ideologi dan pemikiran. Suatu ideologi dapat mewakili suatu golongan tertentu dalam masyarakat yang memiliki paradigma serupa. Dalam sebuah negara demokrasi, semua suara dari masyarakat yang terbagi dalam golongan-golongan akan menjadi pertimbangan utama pelaksanaan pemerintahan. Dalam hal ini pertarungan ideologi tetap tidak bisa terhindarkan sebagi perjuangan berbagai golongan untuk dapat menyuarakan pendapatnya. Pertarungan ini tentunya tidak diikuti oleh seluruh anggota golongan tersebut, namun hanya akan diwakili oleh bagian dari golongannya yang dipercaya paham dan dapat memperjuangkan pemikiran dan argumen dari golongan tersebut. Hal ini, yang secara ideal harusnya diwujudkan dalam fungsi partai, hanya dapat dilakukan oleh para intelektual-intelektualnya yang memiliki pegangan dan dasar kuat mengenai munculnya ideologi golongan tersebut. Dapat kita lihat juga berbagai ideologi besar di dunia selalu lahir dari kaum intelektual. Inilah sistem keterwakilan yang saya lihat sebenarnya dan seharusnya dalam suatu konsep demokrasi, karena memang banyak pendapat yang secara nyata menyatakan bahwa demokrasi hanyalah sistem untuk mereka yang masyarakatnya memiliki taraf pendidikan tinggi.

Sila ke-4 pancasila menuliskan konsep demokrasi yang dimiliki Indonesia secara jelas sebagai “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Di sini perlu kita garis bawahi adanya kata hikmat dan kebijaksanaan yang mengandung makna bahwa sistem perwakilan Indonesia haruslah dipimpin atau dipegang oleh mereka yang memiliki hikmat dan kebijaksanaan. Hikmat dapat berarti memiliki taraf kesadaran yang cukup tinggi sehingga mampu membawakan suatu pemikiran dengan matang dan rasional. Hal ini tentu merujuk pada kaum intelektual yang memiliki kematangan pemikiran dan ideologi, serta memiliki integritas dan idealisme yang kuat. Bahkan mekanisme check and balance yang terjadi pun berada dalam dinamika dialektika dan dialog pemikiran yang terus menerus berlangsung untuk menjaga keseimbangan dan stabilitas sosial dalam bentuk keseimbangan kebenaran yang tentunya dilakukan oleh para intelektual. Pada akhirnya, bentuk sempit dari demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk intelektual, yang mana intelektual ini adalah perwakilan hikmat dari kerakyatan.

Sungguh besar peran intelektual dalam keberjalanan dinamika sosial dan politik suatu masyarakat membuat para intelektual sebenarnya memegang beban yang sangat besar sebagai ujung tombak sekaligus benteng terakhir kemajuan bangsa. Tranformasi sosial tidak memungkinkan adanya terjadi tanpa adanya intelektual yang menyokong di belakang. Bahkan revolusi Bolshevik ataupun reformasi tahun 1998 pun tidak terlepas dari peran intelektual yang melakukan pertempuran ide dan pemikiran di balik panggung. Dalam hal ini James Pertas menyatakan bahwa perubahan sosial akan tiba jika ada titik hubung antara intelektual revolusioner dan gerakan massa.

Institut Tanpa Busana

Memang kali ini saya lebih banyak memaparkan intelektual itu sendiri ketimbang yang akan saya kaitkan dengan institut tempat saya melakukan pembelajaran saat ini. ITB tanpa dapat kita pungkiri termasuk salah satu dari pabrik intelektual terbesar di negeri ini. Sekitar 3000 intelektual diproduksi tiap tahunnya dalam berbagai keahlian dan keterampilan. Namun sayang, fokus pembelajaran selama 4 tahun yang terlalu terfokus pada human capital tanpa penanaman konsep-konsep social capital dan wawasan serta etika intelektual membuat tanggung jawab moral menjadi hal yang langka ditemukan di hati wisudawan-wisudawan institut ini.

Indonesia sebenarnya akan terus mengalami pertempuran pemikiran yang semakin hari semakin dahsyat. Bahkan dalam era informasi dan globalisasi seperti saat ini, pertempuran fisik hampir nihil menjadi ancaman. Yang ada hanyalah gempuran budaya dan informasi yang tiada henti membawa suasana survival of the fittest sebagai dampak dari persaingan dan kompetisi yang ketat antar negara. Demi dapat survive dalam alam liar globalisasi ini, negara-negara berkembang seperti Indonesia tergerus kebebasan eksistensialnya dan tertuntut untuk mengikuti walaupun itu berarti mengorbankan keteguhan jati diri dan kepribadian bangsa. Dalam keadaan seperti ini, sebenarnya siapa yang dapat menjadi pelindung kita? Tentu bukanlah TNI, melainkan kaum intelektual sebagai garda terdepan pertarungan budaya dan informasi. Tapi apa yang bisa diharapkan apabila prajurit yang terbentuk bermental individualistik yang langsung kabur menyelematkan diri sendiri begitu sampai di medan pertempuran? Bahkan kuatnya ideologi dan rasa nasionalisme sebagai senjata dan amunisi utama tidak di-_supply_ dengan baik? Bagaimana mereka tidak segera kabur cari aman apabila pada akhirnya mereka menjalankan operasi dengan tangan kosong.

Perlu kita soroti bahwa ITB secara khusus menciptakan intelektual yang bermain di bidang teknisi dan ilmu murni. Sedikit berbeda dengan intelektual yang bertarung di bidang sosial, perjuangan pada tataran pengembangan menjadi kasus utama di sini. Memang tak bisa kita pungkiri bahwa globaliasi yang telah menciptakan kompetisi kejam tanpa batas menindas Indonesia dalam perlombaan yang kejam. Secara naif kita tidak mungkin cuek dan menutup diri terhadap perlombaan ini, memang, tapi apalah gunanya kita mengikuti mayoritas tapi kehilangan jati diri. Mahasiswa-mahasiswa dididik untuk dapat mengikuti persaingan global secara tangguh dengan seluruh keterampilan dan pengetahuannya. Kualitas SDM pun ditingkatkan agar dapat menyamai kualitas internasional. Namun dampaknya yang tercipta adalah robot-robot tanpa isi, intelektual prematur, tanpa ideologi yang jelas, telanjang dalam colloseum global bersama gladiator-gladiator negara berkembang lainnya.

Berbagai pusat riset dibangun secara serempak untuk membawa ITB agar menjadi pusat penelitian sehingga dapat membantu mengembangkan kualitas penelitian Indonesia ke ranah internasional. Memang bagus, saya akui pribadi kita akan sangat membutuhkan itu karena peran perguruan tinggi tidak lain adalah untuk mengembangkan. Penyebab utama ketertinggalan ilmu dan teknologi di Indonesia adalah kurangnya perhatian pemerintah terhadap hal seperti ini. Tapi perlu kita perhatikan bersama bahwa pertanyaan penting dalam perkembangan ilmu dan teknologi saat ini bukan lagi “bagaimana?”, tapi “untuk apa?”. Dalam situasi saat ini, kemampuan manusia yang tampak dalam ilmu dan teknologi bertautan erat dengan kekuatan ekonomis dan politik/militer. K. Bertens menjelaskan dalam bukunya, Etika, bahwa penelitian ilmiah yang semakin terspesialisasi saat ini menjadi usaha yang semakin mahal. Para ilmuan dan peneliti yang punya cita-cita paling luhur pun tidak bisa berbuat banyak kalau tidak tersedia dana yang sangat dibutuhkan.

“Hampir semua ilmuwan adalah orang yang dari segi ekonomi tidak bebas” kata Albert Einstein. Yang membiayai penelitian ilmiah tenu sudah mempuyai maksud dan kepentingan tertentu. Karena keadaan itu di zaman kita sekarang perkembangan ilmu dan teknologi hampir tidak bisa dipisahkan lagi dari kepentingan bisnis dan politik. Pusat-pusat riset yang dikembangkan ITB mendapatkan sebagian dana dan memiliki berbagai kerjasama dengan negara-negara asing. Saya mungkin terkesan terlalu skeptis bila memandang hal ini adalah hal yang buruk. Tapi tidak dapat kita pungkiri bahwa sejak dahulu yangmemegang arah pemakaian ilmu pengetahuan bukanlah yang mengembangkan, tapi yang memiliki uang. Oleh karena itu, ketika saya mencoba bertanya, “untuk apa?”, saya tidak punya jawaban yang memuaskan, apalagi melihat bahwa apalah artinya semua pengembangan itu apabila mayoritas masyarakat Indonesia tidak paham dan merasakana sama sekali aplikasi dan pemanfaatannya. Secara naif dapat kita berdalih bahwa semua ini adalah demi kemajuan ilmu pengetahuan, tapi seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya di atas, netralitas dan obyektivitas adalah hal yang hampir mustahil. Jika tidak segera mengambil posisi, para peneliti yang disebut oleh Gramsci sebagai intelektual tradisional ini, yang menutup diri dalam jubah akademis dan apatis terhadap realita sosial, hanya akan menjadi alat yang rentan dimanfaatkan baik tenaganya maupun hasil penelitiannya.

Setelah 2 tahun merasakan perkuliahan di ITB, saya benar-benar merasa miskin pengajaran mengenai etika, tanggung jawab moral, atau semacamnya kecuali pada kuliah-kuliah umum yang terkadang hanya menjadi formalitas, terutama PKN dan pendidikan agama. Kuliah umum lainnya yang tidak kalah penting seperti filsafat ilmu pun hanya menjadi kuliah pilihan yang hanya diikuti segelintir orang yang sebagian besarnya hanya mencari nilai murah tanpa benar-benar berusaha mencapai kesadaran tertentu dengan pemahaman penuh terhadap kuliah yang diberikan. Tidak adanya idealisme yang berusaha dibentuk dalam paradigma yang tidak jelas. Dalam kuliah-kuliah khusus pada masing-masing program studi pun tetap terfokus pada human capital. Walau memang saya akui ada beberapa dosen yang cukup bagus dan cerdik menyelipkan metode-metode sederhana untuk membangkitkan sisi lain dari mahasiswanya, mencoba berdiskusi dan membahas hal-hal di luar kuliah. Tapi berapa persentase dosen seperti itu? Hal itu pun bila tidak didukung dengan lingkungan akademis yang mendukung hanya akan tetap menghasilkan intelektual berparadigma individualistik : apalah yang terpenting dari kuliah selain lulus dan dapat kerja. Tanpa ideologi, tanpa gender, tanpa warna.

Satu hal lagi yang menarik adalah masa pemilihan umum yang terjadi tahun ini telah membuka mata saya akan keadaan ITB yang sebenarnya, yang secara naif saya generalisasikan menjadi gambaran keadaan intelektual seluruh Indonesia. Memang telah saya jelaskan di atas bahwa intelektual yang netral adalah intelektual yang mandul, tuli dan bisu, karena seharusnya intelektual adalah mereka yang memiliki ideologi dan menyuarakannya dengan rasional dan argumentatif. Apa yang terjadi akhir-akhir ini seperti deklarasi kepada suatu pihak serta merta menjadi tembakan keras terhadap pencorengan nama intelektualitas. Hal ini diperparah dari kondisi politik Indoensia yangmemang tidak memiliki warna ideologi yang jelas, semua partai membawa hal yang sama, kata-katanya saja yang diubah dengan sokongan kepentingan di belakangnya. Intelektual yang seharusnya menjadi penyeimbang dan penjaga tranformasi seperti ini akhirnya malah terbagi menjadi 2 kubu, yang satu, intelektual tradisional, diam acuh tak acuh dalam zona nyaman dibalik jubah akademis, menyembunyikan wajah yang oportunis dan hipokrit, yang satunya lagi, intektual polos, seperti anak kecil yang bermain kepentingan, cerewet membicarakan sesuatu yang tidak jelas, dan begitu mudah terbawa arus politik. Hanya segelintir dosen yang cukup bijak untuk mempertahankan kualitas intelektualitasnya dengan sikap yang bijaksana.

Terlepas dari dosen, lebih menyedihkan lagi ketika saya tergabung dalam grup facebook dan milis Ikatan Alumni ITB. Yang menjadi isinya adalah pembicaraan-pembicaraan yang saya kira sangat tidak pantas dan tidak dewasa, sibuk sendiri dalam debat kusir tanpa dasar. Apa ini semua produk dari sebuah Institut Teknologi Bandung? Perlu kita tekankan bahwa tiap kekuatan selalu merupakan pedang bermata dua. Ketika ia memiliki potensi untuk mengembangkan bangsa, ia juga berpotensi untuk menghancurkan bangsa. Seperti yang coba saya kutip dalam sebuah opini : “Jika pada akhirnya intelektualitas hanya menjadi ajang kepalsuan retorika-retorika kosong, alangkah lebih baik disebut sebagai ‘orang bodoh’ tapi menyuarakan kebenaran dengan rasionalisme bijak.”

Kembali dalam Kontemplasi

Dalam hal ini kita harus kembali pada dasarnya bahwa intelektual adalah mereka yang telah menjadi manusia seutuhnya setelah mengalami proses pendidikan atau pencarian kebenaran yang panjang dan bertahap. Intelektual yang matang harusnya diperlihatkan dengan idealisme yang kuat dan keyakinan terhadap suatu ideologi dengan rasional dan argumentatif, tidak buta dan berbasis kepentingan seperti yang terjadi saat ini, baik para intelektual murni maupun yang telah terjun ke dunia politik. Kompetisi yang diciptakan oleh globaliasi tidak seharusnya membuat kita menjadi panik dan tergopoh-gopoh ingin segera mengejar. Apakah makna kebanggaan jika seperti itu? Menang dalam perlombaan atau menjadi diri sendiri? Pride yang dimiliki prajurit bukanlah terletak pada kemenangan, tapi pada hasil yang ia raih dari jerih payah sendiri, walau itu artinya kalah. Tapi apa yang terjadi pada kita sekarang, berjuang keras mengikuti kompetisi tapi menggerus jati diri. Berbagai perguruan tinggi besar termasuk ITB pun bahkan semakin terfokus pada human capital, menganggap manusia hanya memiliki aspek kognitif, tanpa menyadari bahwa yang terpenting dari manusia adalah martabatnya (dignity) bukan harganya (price).

Ketika kita mencoba bertanya, dengan keadaan seperti ini, siapa yang bisa disalahkan? Jawabannya bukanlah suatu hal yang mudah. Jika saya mencoba menganalisis, causa prima sebenarnya dalam bentuk luas adalah sistem pendidikan itu sendiri, yang seharusnya merupakan agen perubahan sosial, penjaga nilai, dan penyedia stok intelektual yang bijaksana dan berideologi kuat. Bahkan dapat dikatakan lebih terhormat mereka yang secara terang-terangan memperjuangkan ideologi komunis-radikal tapi dengan dasar rasionalitas yang bijak, ketimbang mereka yang tidak jelas, terkatung-katung dalam oportunisme dan kepolosan. ITB sebagai salah satu pabrik akhirnya sebenarnya juga memainkan peran penting dalam hal ini, terutama dalam hal penciptaan lingkungan akademis, kurikulum pengajaran, kualitas dosen, dan ketegasan dalam bersikap. Mungkin kita perlu memberi sang Ganesha busana agar _civitas academica_nya tidak murni telanjang dalam suasana nasional maupun global yang semakin kacau.

Pada akhirnya, semua hanya dapat kita kembalikan ke diri masing-masing. Menilai keadaan bukan berarti bermaksud untuk men-judge tanpa dasar, tetapi agar dapat menarik pelajaran penting untuk dapat kita olah menjadi kebijaksanaan sehingga dapat memperbaiki diri dalam zaman serba ambigu ini. Sebagai seorang intelektual, kita seharusnya dapat menjadi figur ataupun contoh untuk masyarakat lainnya sebagaimana diimplisitkan dalam sila ke-4 pancasila. Kita yang memiliki kesempatan sebenarnya memegang harapan mereka yang tidak memiliki kesempatan. Betapa besar tanggung jawab yang ada di pundak kita seharusnya dapat kita sadari bersama bahwa tiap tindakan yang kita ambil akan menjadi poin penting untuk perubahan bangsa. Bapak-bapak revolusi kita yang juga merupakan kaum intelektual tentunya akan sangat sedih dan kecewa apabila melihat keadaan intelektualitas bangsa sekarang yang terjun bebas dalam krisis.

Ketika intelektual-itnelektual dewasa sibuk sendiri dalam retorikanya sendiri, mahasiswa yang masih dalam tahap pematangan menjadi satu-satunya harapan dengan dibekali semangat muda yang berapi. Kepolosan yang dimiliki mahasiswa dalam keraguanya dan semua pertanyaannya menjadi poin plus tersendiri dalam menjaga integritas. Seperti yang terjadi pada film How to train your dragon 2, yang mana naga yang tak bisa dikendalikan adalah mereka yang masih kecil, yang masih polos dan memandang dunia apa adanya. Walaupun begitu, sebagian besar mahasiswa sendiri pun saat ini telah menjadi korban paradigma yang berbasis human capital, terbawa arus global dan melupakan jati diri bangsa, acuh tak acuh terhadap realita, dan lebih baik kerja di perusahaan ternama ketimbang terjun kembali ke desa-desa. Intelektualitas berada pada pinggir jurang globalisasi, terlena oleh nikmatnya persaingan yang ada di bawahnya. Hanya beberapa yang sadarlah yang tetap berusaha mempertahankan diri dan mencoba bangkit. Oleh karena itu, marilah bersama-sama tarik nafas dalam-dalam, bersihkan jiwa, mencoba bijaksana, dan laksanakan apa yang dapat kita laksanakan layaknya seorang intelektual sejati yang memegang tonggak pergerakan bangsa beberapa tahun ke depan.

There has been no major revolution in modern history without intellectuals; conversely there has been no contra-revolutionary without intellectuals
– Edward Said –-

(PHX)

Alt Text

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora