Antara Intelektual dan Sebuah Institut
- 11 minsDunia bergerak tanpa tersadari dalam kecepatan yang luar biasa di masa-masa penuh lalu lalang informasi seperti saat ini. Dalam gerakannya, kestabilan dunia sangat bergantung pada keseimbangan penuh akan berbagai aspek inti yang secara signifikan menentukan arah gerakan.
Dalam perspektif sederhana, gerakan dunia yang tidak stabil dengan berbagai permasalahan di dalamnya mungkin adalah kewajaran yang tak mampu dihindari dari lautan kompleks berbagai komponen manusia. Pemikiran yang selalu tarik menarik tiada henti, konflik yang selalu berputar naik turun dalam suatu siklus yang berulang, serta berbagai permasalahan yang terus menimbulkan kritik-kritik pesimis terhadap perubahan, mungkin akan menimbulkan pertanyaan nyata akan letak kontrol arus dunia. Hal yang sama juga tentu saja terjadi di negeri bersimbol garuda tercinta kita, yang mana pertanyaan-pertanyaan pesimis akan makna perubahan akan terus bergaung dalam benak tiap rakyat yang telah muak dengan realita.Indonesia telah berada dalam keadaan statis yang mana segala harapan akan perubahan hanya terasa sandiwara ataupun fatamorgana yang menipu tiap tahunnya. Mungkin terkesan berlebihan, tapi realita bahkan bisa berkata lebih banyak.
Apa kiranya penyebab hal tersebut yang mungkin perlu diperhatikan dengan seksama secara runtut. Melihat pola dunia dalam zaman informasi sekarang sangat ditentukan oleh aspek utama dari zaman itu sendiri, yakni informasi, atau secara sistematis kita menyebutnya dengan ilmu, tentu penggerak utama global adalah yang mereka menguasai aspek ini, mereka yang menguasai ilmu. Merekalah yang sering kita dengar sebagai kaum intelektual atau kaum cendekiawan.
Pabrik Kecerdasan
Sekarang terlepas dari hal itu, kita sebagai manusia berstatus mahasiswa di sebuah Institut yang notabene cukup ternama di tingkat negara mungkin tanpa perlu ditanyakan akan tertuntut penuh akan semua permasalahan yang ada di Indonesia. Namun saya kira tak perlu lagi kita ulangi hal yang terlalu sering terbahas di manapun mengenai mahasiswa sebagai agen perubahan ataupun hal-hal lainnya semacam itu. Semua tuntutan akan perubahan pada pundak mahasiswa sebenarnya berada dalam salah satu komponen dari dua posisi utama mahasiswa, yaitu sebagai pemuda, yang secara psikologis ataupun filosofis memang masih memiliki idealisme dan semangat yang kuat. Komponen kedua, posisi mahasiswa sebagai kaum intelektual, yang saya sebutkan di atas sebagai penggerak arah global di zaman informasi ini, lah yang saya perlu kita tekankan di sini karena hal ini yang terlepas dari kewajaran dan perlu mendapat perhatian penuh.
Institut Teknologi Bandung, sebagai salah satu institut terbaik bangsa telah puluhan tahun menghasilkan ribuan intelektual untuk menggerakkan Indonesia menuju perubahan posisi yang berarti. Secara ideal, Indonesia telah cukup memiliki sumber daya yang seharusnya mampu berada di garis terdepan perubahan di zaman informasi. Namun realita mungkin memang selalu berbeda dari yang ideal, selama bertahun-tahun sejak merdeka, negeri ini jika tidak jalan di tempat, ya maju mundur dalam siklus yang berulang, atau kemungkinan buruknya lagi malah berjalan mundur. Entah apa penyebabnya, mungkin makna dari intelektual itu sendiri perlu penelisikan yang berarti untuk menemukan esensi dan makna sebenarnya.
Sebenarnya apa itu intelektual tidak dapat terdefinisi secara pasti, karena memang kata ini memiliki berbagai perspektif makna tergantung dari mana kita melihatnya. Mungkin masyarakat secara umum memandang intelektual adalah mahasiswa pintar, yang selalu mendapat nilai baik, lulus tepat waktu, memiliki banyak prestasi ataupun menjadi favorit dosen. Pengertian semacam itu sebenarya tidak sepenuhnya salah, karena memang intelektual berhubungan dengan komponen rasionalitas atau logika manusia, yang disini kita standarkan dalam bentuk kepintaran ataupun kecerdasan. Namun, banyak para ahli menekankan kecerdasan dalam intelektual secara lebih implikatif, yaitu yang dengan sadar dapat pertahankan netralitasnya untuk dimanfaatkan secara penuh untuk kepentingan manusia. Berpikir secara jernih berdasarkan ilmu yang dimiliki untuk memecahkan masalah adalah ciri utama kaum intelektual. Tentu saja ini jika kita definisikan lebih luas lagi bahwa intelektual adalah kaum terdidik, kaum yang telah menempuh proses pembelajaran dan pendidikan untuk menaikkan derajat hidupnya sehingga menjadi lebih “manusia”, sesuai dengan fungsi pendidikan yaitu untuk menumbuh-kembangkan sifat hakikat manusia sebagai sesuatu yang bernilai luhur yang membedakannya dari hewan, atau secara singkat dapat kita katakan bahwa pendidikan berfungsi untuk memanusiakan manusia. Manusia yang utuh dibedakan dari kesadaran yang dimilikinya, karena memang yang menjadikan manusia adalah manusia hanya kesadaran. Sehingga intelektualitas adalah bentuk pencapaian kesadaran penuh manusia sebagai makhluk individual dan sosial setelah proses pendidikan yang sistematis.
Apabila kaum intelektual memang adalah kaum yang terdidik atau terpelajar, tentu saja hakikat-hakikat utama manusia sangat melekat penuh sebagai sifat utamanya, karena pendidikan itu sendiri juga merupakan salah satu media penurunan ataupun penjagaan nilai-nilai budaya yang ada untuk menjadikan seorang terdidik menjadi manusia sepenuhnya sebagai makhluk individual dan makhluk sosial dalam lingkungannya. Tentu saja ini sangat jauh berbeda apabila jika hanya melihat intelektual dalam perspektif sempit sebagai bentuk kecerdasan akal belaka. Karena perlu kita ketahui bersama, cerdas bukan berarti sadar.
Sekarang melihat permasalahan yang ada, ITB sebagai sebuah institusi pendidikan berkewajiban penuh untuk menghasilkan intelektual-intelektual yang sesuai dengan cita-cita atau tujuan utama dari esensi pendidikan itu sendiri, yang tidak sekedar cerdas dalam akal namun memiliki penanaman mendalam mengenai nilai-nilai luhur norma dan budaya Indonesia dalam kepekaan penuh tanggung jawab dan kesadaran murni. Intelektual yang diproduksi oleh ITB baik dalam bentuk output sarjana, magister, ataupun doktor tidak dapat dinilai berhasil secara pendidikan apabila hanya memiliki kemampuan lebih pada kecerdasannya saja. Apakah itu telah sesuai atau tidak mungkin kita sebagai pelaku utama yang dapat merasakannya dengan seksama.
Narsisme Intelek
Lulusan perguruan tinggi yang hanya bermodal individual berupa modal ekonomi ataupun modal individual seperti kecerdasan dan keterampilan pribadi tanpa dibantu atau ditopang oleh modal sosial ataupun modal kultural sebagai penyempurna hasil pendidikan sebagai sosok intelektual yang utuh akan berparadigma egosentris dan mengalami defisiensi kepekaan. Defisiensi ini akan menumbuh subur individualisme dan pada akhirnya menyingkirkan negara atau masyarakat sebagai aspek prioritas dalam orientasi hidupnya. Mendengar pendapat dan opini yang ada, sangat disayangkan bahwa ternyata mayoritas lulusan ITB memenuhi kriteria tersebut. Hal ini yang pada akhirnya membuat terasa menguapnya begitu saja semua karya-karya manusia cetakan institut yang termakan paradigma-paradigma liberal sehingga terasa hanya sedikit yang meninggalkan bekas jejak perubahan di negeri ini.
Entah benar atau tidak, kita dapat melihat cukup jelas dari persentase sarjana ITB yang kembali ke daerahnya masing-masing untuk melaksanakan pembangunan sebagai bentuk pengabdian dari ilmu yang telah diperolehnya selama melaksanakan pendidikan di institut. Walau sebenarnya hal itu bukanlah paksaan, namun tanggung jawab moral yang seharusnya terbangun dalam diri masing-masing intelektual tidak digubris dan dengan mudah disingkirkan oleh hasrat ego untuk pencapaian kualitas hidup yang tinggi secara pribadi. Dalam suatu observasi yang dilakukan oleh salah seorang alumni, memang terbukti, walau entah masih ada unsur subjektivitas atau tidak, bahwa lulusan ITB memang terjangkit virus kaku dan sombong dalam menghadapi dunia yang sebenarnya di luar kampus. Hebatnya, hal yang sama tertanam erat dalam mayoritas pikiran sebagai bentuk nyata virus ini, misi dan cita-cita selalu terwujud dalam bentuk skala makro seperti “proyek nasional”, “perusahaan minyak”, dan lain sebagainya.
Penyakit narsis yang terjangkit pada mahasiswa institut ganesha ini juga tak hanya terjadi pada lulusan, namun merajalela hingga ke junior-juniornya, hingga pada mahasiswa yang baru masuk pun telah dibangkitkan rasa percaya diri dan arogansinya melalui tulisan yang jelas terpampang setiap tahunnya, entah itu sebagai pemimpin global ataupun siswa terbaik bangsa. Seakan memang bangga telah tercap sebagai ibu dari para Narcissus, ITB tanpa ada perubahan sedikit pun membiarkan apa yang terjadi secara realita untuk sekedar berlalu begitu saja. Sebenarnya tidak ada yang salah dari perasaan membanggakan diri sendiri atau bervisi makro dan ambisius dalam berorientasi, namun hakikat manusia tidaklah hanya sebagai makhluk individu belaka, namun kita berada dalam kesatuan luas kompleks yang disebut dengan masyarakat, yang secara sistematis terangkum dalam negara bernama Indonesia. Kepekaan yang hampir mati dalam hati mahasiswa ganesha perlu kita cermati seksama karena ini akan berimplikasi jelas pada matinya intelektual sebagai benteng terakhir pergerakan bangsa.
Tak dapat kita ketahui dengan pasti apa kausa prima dari fenomena ini, tapi saya dapat merasa bahwa mahasiswa tidak lain adalah hanya sebagai komponen, peserta, atau objek, dari sebuah pabrik, lembaga, institusi, atau subjek pendidikan bernama Institut Teknologi Bandung, mahasiswa berada dalam posisi “korban” dalam sistem yang ada dalam pembentukan paradigma dan karakter. Memang proses pendidikan telah terjadi jauh sejak kecil dan itu berada dalam ranah yang sangat besar untuk dijadikan objek kajian permasalahan. Namun karena entah kenapa, dari manapun asal sekolahnya, begitu masuk ITB bisa terjangkit hal yang sama, menunjukkan bahwa sumber permasalahan terletak dari bagaimana sistem yang ada pada institusi pendidikan ini dapat membentuk intelektual dengan paradigma ataupun konsep berpikir yang sedemikian rupa mematikan hakikat utama intelektual sebagai manusia terdidik.
Banyak yang menganggap bahwa di perguruan tinggi pendidikan karakter tidak perlu ditekankan karena mahasiswa telah dirasa cukup dewasa untuk menjadi mandiri dan mengatur dirinya sendiri tanpa ada campur tangan lebih dari dosen ataupun tenanga pendidik yang lain. Hal ini mengakibatkan karakter yang tertanam di tambah kombinasi kompleks materi pembelajaran, pengaruh lingkungan, dan hal-hal lainnya mendukung tumbuh suburnya self-oriented dalam diri. Bukannya menghasilkan intelektual yang dapat diharapkan untuk membangun, namun pada akhirnya intelektual yang tercipta secara perlahan mengikis Indonesia dalam berbagai harapan yang perlahan dipadamkan dari dalam.
Menggali Akar
Apa yang terjadi di kampus kita bersama sebenarnya dapat kita cermati dengan mata masing-masing. Kesatuan kompleks mulai dari nama, sistem, hingga pendidik yang ada pada kampus unik ini terintegrasi secara bersama menjadi sebab inti terciptanya intelektual yang tidak sempurna setelah minimal 4 tahun terproses secara sistematis. Tapi apa guna kita menyalahkan sistem sebagai bentuk kesadaran kita akan keganjilan yang ada. Terkadang kesadaran memang jauh lebih penting daripada informasi ataupun ilmu bentuk apapun. Mau tidak mau, kita memang harus menerima bahwa mahasiswa-mahasiswa ITB secara sistematis mengembangkan rasa percaya dirinya sebagai akibat dari status yang melekat dalam diri tiap mahasiswa. Status adalah sumber kesombongan terbesar dalam diri manusia, sehingga memang sangat perlu diwaspadai, jika memang sistem pembelajaran yang ada di ITB juga ikut berkontribusi dalam pembentukan sifat narsis mahasiswanya, apa yang bisa kita lakukan untuk mengubah sistem sebuah institusi pendidikan yang tidak kecil? Jika perlu kita melihat dalam skala luas, segala komponen pendidikan di Indonesia berkontribusi penuh dalam pembentukan manusia-manusia yang ada di bangsa ini. Kaum intelektual sebagai produk utama pendidikan, yang merupakan pemegang kuasa penuh arah pergerakan di zaman informasi dan benteng terakhir harapan bangsa untuk keluar dari jurang statis siklus tiada henti ketertinggalan.
Tak perlu kita bawa nama kemahasiswaan dan hal-hal idealis-retoris lainnya untuk perlu melakukan perubahan. Seperti yang saya paparkan sebelumnya, inti dari seorang intelektual adalah kesadaran penuh sebagai manusia dalam ranah individual maupun sosial. Cukup dengan kesadaran itulah kita bertindak, ubah yang dapat kita ubah, lakukan apa yang dapat kita lakukan. Sistem kompleks yang ada di Indonesia telah rusak hingga ke akar-akarnya hingga menyibukkan diri pada hal-hal tersebut hanya akan membuang-buang waktu. ITB sebagai institusi pendidikan memang seharusnya dapat melakukan fungsinya untuk mewujudkan intelektual yang dapat diharapkan, apakah hal tersebut terlaksana dengan baik cukup kita jawab masing-masing dalam pribadi. Kurang diperhatikannya makna pendidikan sebagai penentu utama berkembangnya suatu bangsa membuat Indonesia memang akan terus jalan di tempat dalam siklus yang tiada henti di tengah intelektual-intelektualnya yang terus terproduksi namun menguap begitu saja dalam angin kapitalisme yang membuat semua orang terlena.
Mungkin perlu kita kaji bersama sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Walau sekarang kurikulum baru berbasis karakter akan segera dieksekusi oleh pemerintah tahun ini, hal itu tidak dapat banyak menjanjikan karena perumusannya terkesan mendadak dan tanpa persiapan yang matang. Namun tetap saja posisi perguruan tinggi sebagai pintu terakhir tercetaknya hasil akhir proses pendidikan tidak mendapat perhatian khusus dalam proses pematangan karakter untuk membentuk intelektual yang utuh dan sempurna. Pada akhirnya, segala permasalahan yang ada di negeri ini tidak dapat dipandang dalam satu aspek semata, kesatuan kompleks seluruh komponen di negeri bersatu padu berkontribusi untuk menjadikan segalanya terasa sistemik dan siklik. Namun sebenarnya, dimulai dari pendidikan, harapan untuk perubahan itu selalu ada. Bagaimana cara mengubahnya renungilah dalam benak masing-masing. Lembaga pendidikan sebesar ITB akan selalu berada dalam tanda tanya besar dalam berbagai fenomena yang ada di negeri ini. Memang, Intelektual adalah benteng terakhir pertahanan Indonesia dalam menjawab serangan global, bagaimana kita menjawabnya, marilah cukup tanamkan kesadaran dalam diri masing-masing, ini semua adalah masalah bagaimana kita menjadi manusia yang utuh.
“Kalau sekedar bertujuan menyampaikan informasi dan pengetahuan, tak satupun universitas punya justifikasi apa pun untuk tetap berdiri sejak berkembangnya mesin cetak di abad ke limabelas!”
– Alfred N. Whitehead (Matematikawan-filsuf) –
(PHX)