Antara Alam dan Teknologi

Antara Alam dan Teknologi

- 27 mins

Pembahasan mengenai teknologi memang tidak ada habisnya. Kali ini, seakan seorang aktivis ekologi, aku mencoba melihat perspektif baru mengenai bagaimana hubungan teknologi pada alam selama ini. Teknologi tidak mungkin tidak memiliki dampak buruk. Itu sudah pasti, ia merupakan representasi nafsu manusia yang tidak pernah puas dengan kehdidupannya sendiri. Tapi bagaimana dampak buruk ini bisa dinetralkan? Tentu saja bukan dengan menutup mata dan hanya terkesima pada betapa mengagumkan dan bermanfaatnya teknologi, tapi dengan menganggap teknologi itu benar-benar sebuah musuh, maka akan terlihat jelas semua keburukanya. Seperti kata Edward Abbey, “You can’t study the darkness by flooding it with light.” Ya tulisan ini hanyalah satu lagi wujud kegelisahanku ketika melihat orang-orang semakin buta pada betapa berbahayanya teknologi. Benar atau salahnya, kita tidak akan pernah bisa tahu, yang kita tahu hanyalah fenomena teknologi saat ini nyata adanya dan entah akan menjadi apa di masa depan. Well, terlepas dari itu, semoga bermanfaat!


Human use, population, and technology have reached that certain stage where mother Earth no longer accepts our presence with silence.
-― Dalai Lama XIV –

Sudah bukan rahasia lagi bagaimana teknologi telah berkembang sedemikian rupa dalam kurun seabad terakhir. Ia selalu menjadi instrumen manusia untuk menyingkap lebih banyak realita, entah untuk dipelajari ataupun dieksploitasi. Bermula dari sesederhana perkakas untuk menyingkap realita baru bahwa pohon bisa ditebang ataupun binatang bisa dibunuh, hingga alat-alat canggih untuk menyingkam ragam realita yang lebih terbuka dari kecilnya partikel elementer hingga luasnya jagad raya. Ya, teknologi sejak dahulu merupakan perpanjangan tangan manusia, instrumen untuk menghubungkan manusia dengan lingkungannya.

Berbagai revolusi perkembangan ilmu, dari ditemukannya mesin uap hingga berkembangnya sibernetika, membuat teknologi sudah melebur sedemikian rupa bersama manusia. Ia seakan menjadi organ baru yang melekat dalam tubuh kita, terlepas dari tangan, kaki, kelima indra, dan organ-organ lainnya yang pada awalnya menghubungkan manusia langsung dengan lingkungan tanpa perantara apapun. Mungkin memang banyak manfaat yang bisa diambil dari semua perkembangan teknologi ini, namun sayang terkadang ragam manfaat itu membutakan kita pada resiko dan bahayannya, hingga akhirnya berujung pada ketidakmampuan kita mengontrol teknologi itu sendiri.

Karena teknologi merupakan instrumen penghubung manusia dengan lingkungannya, yang mana secara umum adalah alam ini sendiri, maka alam ini sudah tersingkap sedemikian rupa sejak teknologi paling pertama ditemukan. Pada dasarnya penyingkapan ini akan berujung pada dua hal: pemahaman dan penindakan. Artinya, secara umum, teknologi memang dari awal berkembang untuk membantu manusia memahami alam dan membantu manusia melakukan sesuatu pada alam. Sebenanrya pemahaman sendiri diperlukan sebelum manusia dapat “menindak” alam, maka pemahaman yang dimaksud sebelumnya terkait dengan kebijaksanaan dan hal-hal lainnya yang bisa dipelajari manusia untuk hidup dengan baik dan harmonis bersama alam. Dua arah perkembangan teknologi ini bergerak secara pararel pada awalnya, namun mengingat manusia adalah makhluk yang secara natural memiliki nafsu dan emosi, dorongan manusia untuk memanfaatkan alam hanya untuk keuntungannya lebih besar ketimbang sekedar untuk dijadikan pembelajaran dan sumber kebijaksanaan. Sehingga terakumulasilah hingga saat ini efek-efek betapa rakusnya manusia mengeksploitasi alam atas nama perkembangan teknologi.

Teknologi sebenarnya merupakan bagian yang memang secara natural tidak bisa terpisahkan dari manusia. Mau bagaimana pun, perkembangan teknologi tidak bisa dihindari. Hasrat manusia untuk membuat hidupnya lebih nyaman dan mudah adalah suatu hasrat yang secara alami tidak bisa dipungkiri lagi. Alam sebagai media utama manusia untuk bertahan hidup pun menjadi objek hasrat ini. Apa lagi yang bisa dimanfaatkan selain alam ini sendiri? Maka demi meningkatkan kualitas hidupnya, manusia secara bertahap mengembangkan beragam cara untuk memanfaatkan alam. Sebelum membahas bagaimana alam ini diotak-atik oleh manusia, marilah sebelumnya kita coba telisik ada apa sesungguhnya di alam.

Kehidupan dalam Jaring-jaring

Alam pada dasarnya merupakan suatu bentuk integral kehidupan, terlepas dari apakah bagian di dalamnya memang benar-benar hidup atau tidak. Mungkin kita bisa mengatakan batu, kerikil, udara, setetes air, dan lain sebagainya merupakan benda mati, namun dalam suatu kumpulan yang kompleks, mereka semua membentuk sifat-sifat yang mencirikan kehidupan. Dalam skala yang berbeda-beda, memang jika dilihat sebagai satu kesatuan, alam berperilaku layaknya suatu bentuk kehidupan. Hal ini didasarkan pada sifat autopoetik yang selalu terlihat dalam setiap sistem yang ada di semesta.

Apa itu sifat autopoetik? Secara sederhana autopoetik atau autopoesis dapat diartikan dari bahasa latin sebagai membentuk diri sendiri. Artinya sifat ini adalah sifat dimana suatu sistem membentuk dan mengembangkan dirinya sendri seakan memiliki kesadaran mandiri. Inilah ciri kehidupan paling dasar yang dapat didefinisikan, mengingat hidup dan mati selalu dibedakan dari bagaimana suatu sistem “bertindak” secara mandiri atau lebih jauh lagi, bagaimana suatu sistem merespon gangguan dari luar. Apa itu kehidupan sebenarnya memiliki banyak versi definisi, namun pad akali ini akan lebih mudah bila melihatnya lebih abstrak dan umum dari bagaimana ia berperilaku. Beberapa ciri kehidupan yang biasanya didefinisikan hanyalah turunan dari satu sifat ini. Ambillah contoh bakteri yang memiliki regulasinya sendiri dalam membelah diri secara mandiri, atau bagaimana beberapa bakteri merespon adanya sinar matahari secara berbeda.

Sifat ini muncul ketika komponen-komponen yang terkait dalam sistem tersebut membentuk proses yang siklik pada dirinya sendiri. Jika memperhatikan tingkatan hidup paling sederhana (selain virus tentunya), yakni sel, proses siklik ini diperlihatkan dengan metabolisme yang terjadi terus menerus. Proses metabolisme ini akan melibatkan aliran materi dan energi untuk tanpa henti membentuk dan menjamin keberadaan sel itu sendiri. Yang menarik dari hal ini adalah, proses itu terjadi sedemikian rupa diakibatkan oleh kompleksnya jaringan antar komponen pada sel, tidak atas koordinasi dari apapun. Tidak ada ‘otak’ sel. Inti sel pun hanya mengandung sumber informasi (DNA/Deoxyribose Nucleic Acid) untuk mencetak asam amino dan protein. Jika melihat kerja sel yang seperti ini, semua organel memiliki perannya masing-masing secara merata, tidak ada yang lebih penting atau lebih diutamakan. Hal ini menyiratkan bahwa struktur sebuah sistem yang hidup selalu berupa jaring-jaring yang setara, yang mana setiap komponen jaring-jaring ini memiliki perannya sendiri, bukan sebuah hirarki yang bertingkat.

Setiap komponen pada jaring-jaring ini tidak akan punya perilaku khusus bila terpisah-pisah. Rantai DNA hanya akan jadi benda mati bila sendirian, demikian halnya dengan mitokondria, riboson, dan organel lainnya. Tapi pada suatu cakupan tertentu, kumpulan benda mati ini menciptakan sifat autopoesis sebagai satu kesatuan, dan dengannya juga sifat-sifat kehidupan. Memperluas konsep ini, kumpulan sel akan membentuk lingkup kehidupan baru pada tataran organ atau organisme, kumpulan organisme akan membentuk lingkup kehidupan baru pada tataran ekosistem, kumpulan ekosistem akan membentuk tingkatan lingkup kehidupan baru pada tataran bumi. Itulah kenapa bumi sering dipandang sebagai satu bentuk kesatuan tunggal, bukan sekedar planet yang mati.

Sifat struktur alam yangberupa jaring-jaring yang saling melingkup ini membuat alam harus selalu dilihat dalam satu kesatuan, tidak terpisah-pisah. Setiap komponen pada jaring memiliki pengaruh yang sama ke semua komponen. Pada sistem yang kompleks, bahkan, pengaruh yang kecil bisa menyebabkan dampak yang besar seperti yang dijelaskan dalam teori chaos dengan butterfly effect-nya yang terkenal. Kepakan sayap kupu-kupu pada satu bagian bumi bisa menyebabkan badai pada belahan bumi yang lain. Hilangnya satu spesies dalam suatu ekosistem bisa berdampak pada keseluruhan ekosistem itu sendiri.

Proses siklik yang terjadi di alam bukanlah sekedar proses yang terjadi begitu saja, namun tercipta dari koordinasi kompleks semua komponennya. Ketika komponennya mengalami perubahan yang cukup signifikan, maka keseluruhan proses itu akan ikut berubah dan menyesuaikan diri untuk menjaga kestabilan. Ketika proses ini berubah, maka keseluruhan sistem akan ikut berubah karena dari proses ini kehidupan terdefinisikan pada sistem terkait. Ini lah mengapa bentuk ciri kehidupan yanglain adalah bagaimana suatu sistem merespon gangguan dari luar. Gangguan eksternal lah yang biasanya akan memberi perubahan pada komponen sistem sehingga “mengganggu” proses yang terjadi di dalamnya. Ketika gangguannya signifikan, sistem itu akan rusak secara perlahan seiring dengan kemampuannya untuk menstabilkan diri.

Pandangan Mekanistik Teknologi

Pada awalnya manusia dan alam hidup murni berdampingan, tanpa perantara apapun. Manusia secara langsung mengambil semuanya dari alam tanpa perantara dan tanpa mengganggu proses apapun yang terjadi di alam. Namun tentu saja, manusia tidak bisa menghentikan nafsu ingin tahu dan kemalasan yang terjadi di dalam dirinya. Secara perlahan, disengaja atau tidak, beragam alat tercipta untuk memudahkan pekerjaan-pekerjaan dasarnya agar lebih mudah. Di sisi lain, penemuan alat-alat ini menyingkap realita-realita baru, yang mana ketika ditelusuri memberi manusia ide lain untuk menciptakan alat yang lain, dan dengannya pun realita baru terbentuk lagi. Hal ini terus menerus terjadi dan mengakibatkan teknologi seperti sekarang ini. Teknologi berkembang untuk menjawab masalah yang ada, namun kemudian teknologi itu juga akan membuka sisi lain masalah di realita, memicu berkembangnya teknologi yang lain lagi. Permasalahan minyak tidak akan pernah menjadi masalah jika teknologi tidak menyingkap it pada manusia, demikian halnya bakteri penyakit, pangan, dan lain sebagainya. Mungkin dulu masalah utama manusia hanyalah bagaimana manusia bisa makan dan bertahan hidup, namun dengan masalah dasar itu, manusia terus menerus menyingkap realita hingga ke tataran paling detail.

Ketika berkembang, sayangnya teknologi ini selalu tercipta pada satu kerangka realita spesifik saja. Hal ini tentu saja hal yang wajar karena manusia pasti akan mengembangkan teknologi ketika bertemu dengan satu permasalahan spesifik. Fenomena ini membuat manusia secara perlahan mengotak-kotakkan alam menjadi bagian-bagian terpecah. Berkembangnya logika dan klasifikasi ilmu semakin memperkuat efek ini. Semesta selalu dilihat secara terpisah-pisah dari sudut pandang yang berbeda-beda. Padahal, pada awalnya, manusia-manusia kuno zaman dulu selalu melihat semesta ini sebagai satu kesatuan yang tak bisa dipandang terpisah. Mau tidak mau, hal ini pasti akan terjadi dengan berkembangnya teknologi yang mulai terdiversifikasi berdasarkan permasalahan-permasalahan dan cabang ilmu yang ada.

Ketika berkembangnya mekanika klasik, pandangan yang mengotak-kotakkan alam ini mulai mengeras dan menjadi sebuah paradigma tersendiri. Paradigma ini, karena dipicu oleh mekanika Newton dan dikotomi Descartes, sering dikenal dengan paradigma Newtonian atau Cartesian, atau secara umum, paradigma mekanistik. Kenapa dinamakan demikian adalah karena dalam hal ini, alam dipandang selayaknya sebuah mesin (mekanik) yang selalu bisa dipecah menjadi bagian-bagian. Jika ada masalah pada satu bagian, cukup fokus bagian itu saja tanpa perlu melihat bagian yang lain. Semesta bagaikan bekerja dalam mekanika sebab akibat yang kaku. Pandangan ini juga yang memicu determinisme ekstrim, yang mana menganggap selama kita bisa mengetahui keadaan semesta pada suatu titik waktu, kita pasti akan bisa memprediksi perilaku semesta pada waktu kemudian. Pandangan ini begitu tertanam kuat sebagai awal mula tumbuh suburnya modernitas dan rasionalitas pada masa klasik. Hampir semua perkembangan pengetahuan, teknologi, dan seni pun cenderung terarah pada pandangan ini.

Jelas bahwa pandangan mekanistik ini banyak bertentangan dengan sifat natural alam yang tidak bisa dikotak-kotakkan. Dengan berkembangnya mekanika klasik dan turunan-turunannya, yang kemudian memicu penemuan beragam teknologi produksi dan juga revolusi industri, manusia seakan tengah dimabukkan oleh ide gila-gilaan mengenai eksploitasi alam. Manusia semakin berlomba-lomba memproduksi apapun yang bisa dijadikan nilai jual. Ekonomi berbasis kapital tumbuh subur membuat pandangan terhadap alam berubah, bukan lagi kehidupan tempat manusia belajar dan bernaung, tapi hanyalah benda mati untuk diambil dan dimanfaatkan. Bagaimana tidak, alam hanya terlihat “hidup” bila dilihat sebagai satu kesatuan utuh, namun jika hanya melihatnya terpisah-pisah, bagaimana tambangnya, bagaimana hewan-hewannya, maka alam tidak lebih dari sekedar mesin ATM tempat manusia bisa mengambil bahan modal sepuas-puasnya. Sains menjadi seperti agama untuk membenarkan semua tindakan tersebut.

Barulah tidak lama kemudian, isu-isu ekologi mulai bermunculan sebagai respon alam dari kegilaan manusia modern dalam imperialisme saintifiknya. Satu per satu simpatisan ekologi bangkit dari tidurnya dan mulai membuat gerakan-gerakan lingkungan. Yang paling terkenal tentu adalah isu tentang pemanasan global yang dipropagandakan dimana-mana sebagai ancaman terbesar abad ini. Memang tidak ada kata terlambat, tapi dengan berkuasanya ekonomi modern kala itu sebagai penggerak utama semua dinamika yang ada di dunia yang menggunakan nama sains dan teknologi sebagai senjatanya, gerakan-gerakan seperti itu seperti hanya angin berlalu, atau bahkan dimanfaatkan. Pemanasan global sering dijadikan alasan untuk menetapkan regulasi-regulasi yang menguntungkan kelompok tertenu, demikian halnya dengan isu-isu lain. Globalisasi ekonomi membuat seakan semuanya bisa dikendalikan oleh uang.

Permasalahan-permasalahan yang mulai muncul memberi alasan baru bagi para pengembang teknologi untuk terus dapat menyingkap realita. Namun sayang, karena begitu tertanamnya paradigma mekanistik, semua penyingkapan ini tidak pernah lepas dari pengotak-kotakkan alam menjadi bagian-bagian. Di sisi lain, teknologi sudah semakin tunduk pada pemilik modal mengingat penelitian dan pengembangan sains dan teknologi semakin membutuhkan banyak biaya. Apalagi, kapitalisme global semakin menguasai setiap lini, membuat modal adalah segalanya. Para simpatisan etika dan ekologi pun tidak bisa berkutik pada yang satu ini.

Berkembangnya Bioteknologi

Alam sudah merupakan objek utama teknologi. Hal ini jelas, kerena teknologi merupakan instrumen yang menghubungkan manusia dengan lingkungannya, yang menyingkap realita di lingkungannya. Dalam hal ini, walaupun alam itu sendiri dalam satu kesatuan merupakan sistem hidup, ia tetap memiliki komponen yang mati dan yang hidup. Perkembangan teknologi yang memanfaatkan komponen mati alam dengan yang memanfaatkan komponen hidup memiliki perkembangan yang sama pesatnya. Kita mungki secara umum menggeneralisasi teknologi untuk keduanya, namun khusus untuk pemanfaatan komponen hidup di alam, kita memiliki nama sendiri untuknya. Sebutlah ia bioteknologi.

Bioteknologi perlu mendapatkan pembahasan khusus karena kehidupan bukanlah suatu hal yang sebenarnya pantas untuk dipermainkan seenaknya atas nama perkembangan sains, apapun alasannya. Sudah banyak isu akhir-akhir ini yang cukup menggelisahkan mengenai betapa lancangnya bioteknologi sudah berkembang jauh. Kompleksitas kehidupan terlalu berharga untuk sekedar dimanipulasi dan dikendalikan untuk memenuhi nafsu-nafsu manusia yang terkdang berpikiran terlalu sempit terhadap alam. Memakai beragam dalih yang terkesan mulia, tetap saja manusia dibutakan oleh dampak-dampak yang sesungguhnya terjadi, selain dari betapa kelirunya kita memandang alam ini.

Bioteknologi secara umum bisa didefinisikan sebagai pemanfaatan makhluk hidup dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. Bioteknologi sebenarnya sudah ada sejak dulu, bahkan sama tuanya dengan teknologi itu sendiri. Ketika manusia mempelajari cara bercocok tanam, saat itu jugalah bioteknologi lahir, walau mungkin cara yang digunakan saat itu sangatlah konvensional. Pengumpulan bibit, pemeliharaan tanaman, hingga akhirnya kawin silang, kultur jaringan, dan sebagainya merupakan bentuk sederhana dari bioteknologi. Pada awalnya memang hanya pemanfaatan untuk bidang pangan, namun kemudian berkembang ke ranah medis, bahkan pada penglohan material. Pada awalnya bioteknologi merupakan hal yang wajar mengingat manusia pasti mengolah alam untuk dapat dimakan. Pemuliaan hewan ternak, pemuliaan bibit, pengelolaan lahan, dan lain sebagainya, adalah fenomena yang secara natural terjadi pada manusia dengan berkembangnya kreativitas dan pengetahuan pada otak yang tak bisa dihindari.

Awalnya memang tidak ada masalah karena rekayasa alam yang dilakukan tidak sampai sejauh mengganggu kestabilan proses maupun struktur kehidupan di alam itu sendiri. Namun sayang, dengan semakin tersingkapnya realita oleh teknologi, tiap jengkal alam semakin terbuka untuk direkayasa. Hingga akhirnya realita yang tersingkap pun menyentuh lingkup terinti dalam kehidupan paling dasar, gen dan DNA, bertransformasilah bioteknologi ini menjadi suatu bentuk baru, sebutlah ia rekayasa genetika.

Seperti halnya sibernetika yang menandai revolusi teknologi informasi, berkembangnya rekayasa genetika sering dikenal sebagai revolusi bioteknologi. Bahkan, ia dianggap memang sejalan dengan berkembangnya teknologi informasi karena melibatkan manipulasi “informasi” genetik. Ketika dulu bioteknologi hanya menyentuh unsur ekstrinsik dari alam, yakni materi dan energi, maka dengan revolusi menuju bioteknologi modern ini, unsur intrinsik alam, yakni informasi, mulai ikut tersentuh. Membuat alam mau tak mau tidak sekedar terusik kulitnya saja, namun terusik hingga ke “jiwa”-nya.

Rekayasa genetika bisa diartikan sebagai seperangkat teknik untuk mengisolasi, memodifikasi, memperbanyak, dan merekombinasi gen-gen dari organisme-organisme yang berbeda. Gen sendiri sering dipahami sebagai unit pewarisan sifat dalam organisme hidup. Pemahaman gen seperti ini sebenarnya merupakan pandangan determinisme genetik, turunan dari paradigma mekanistik yang memilah-milah semesta. Dalam determinisme genetik, sifat suatu makhluk hidup seakan murni ditentukan oleh gen, menyiratkan bahwa cukup dengan mengetahui gen-gen makhluk hidup, kita bisa menciptakan makhluk hidup baru sesuai dengan sifat-sifat yang kita inginkan sendiri. Pandangan ini yang jelas membuat genetika bisa direkayasa layaknya sebuah mesin yang bisa dibongkar pasang seenaknya.

Ilmu genetika sejauh ini memang telah mengungkap beberapa hal terkait mekanisme yang terjadi pada inti sel, seperti apa fungsi DNA sesungguhnya dan bagaimana ia bisa dijadikan sumber informasi untuk membentuk protein. Mekanisme itu secara sederhana terdiri dari bagaimana DNA dibelah, kemudian dibaca dan dibuat salinan RNA, kode pada RNA dibawa ke ribosom untuk dibuatkan rangkaian asam amino untuk membentuk protein. Semua proses itu melibatkan enzim-enzim tertenu yang diibaratkan alat-alat pabrik yang secara khusus memiliki fungsinya masing-masing. Apakah memang sesederhana itu yang sesungguhnya terjadi pun kita belum dapat secara pasti yakin karena riset pada bidang genetika bukanlah riset yang mudah dan murah. Namun pada akhirnya, mekanisme ini sangat terlihat berparadigma mekanistik, seakan inti sel hanyalah pabrik pembuat protein dengan mesin-mesin berupa enzim, terlebih lagi, determinisme genetik sangat menjadi penekanan utama: RNA dibuat dari DNA, RNA membuat protein, dan protein membuat kita. Apakah informasi pada DNA yang murni menentukan ciri makhluk hidup secara natural?

Pada organisme-organisme tingkat tinggi, determinisme genetik itu ternyata menemukan banyak anomali. Terlihat bahwa korespondensi sederhana antara urutan DNA dan urutan asam amino dalam protein tidak lah ada sehingga kaidah satu gen satu protein sepertinya harus ditinggalkan. Hal ini disebabkan pada organisme tingkat tinggi, gen yang mengkode protein cenderung terpisah, bukannya membentuk urutan lurus yang bersambung, bahkan terkadang diselingi dengan urutan panjang kode tanpa makna berulang-ulang. Kode tanpa makna ini sering disebut dengan “DNA sampah”, karena sejauh ini belum dipahami fungsi utamanya.Terlebih lagi, RNA yang sudah dibentuk dari DNA harus mengalami proses pengeditan yang tidaklah unik. Ketika kode-kode tanpa makna tadi dibuang, rantai kode yang dihasilkan akan membentuk segmen-segmen yang ternyata kemudian disambung-sambungkan dengan berbagai cara, seperti memiliki kombinasinya sendiri. Dalam hal ini dinamika kompleks jaringan zat kimia pada sel lah yang menetukan koordinasi natural yang terbentuk dari sifat autopoesis sel.

Dinamika pengaturan jaringan seluler juga terlebih lagi tidak hanya sekedar menentukan protein apa yang akan terbentuk, tapi menentukan bagaimana proteinyang terbentuk itu akan berfungsi. Telah lama diketahui bahwa satu protein bisa berfungsi dalam berbagai cara, tergantung konteksnya, lingkungannya, atau struktur kompleks tiga dimensinya. Sel sesungguhnya merupakan sistem kompleks yang harus dilihat sebagai satu kesatuan utuh. Sebagai sebuah sistem yang kompleks juga, ia berperilaku tidak sesederhana mesin. Dinamika yang terjadi di dalamnya sangatlah tidak linear dan layaknya jaring-jaring yang saling terkait satu sama lain. Selain itu, mengingat masih banyak yang belum terungkap dan masih misteriusnya gen, pemahamankita tentang genetika sesungguhnya sama sekali belum banyak dan tidak menyeluruh. Pengambilan kesimpulan yang terlalu cepat mengenai penggunaan rekayasa genetika untuk beragam aplikasi akan menimbulkan banyak efek yang tidak bisa diprediksi.

Pertarungan Melawan Etika

Rekayasa genetika sesungguhnya hanya meniru mekanisme yang terjadi pada DNA ketika memproduksi protein, sesederhana prinsip potong dan sambung. Mekanisme yang terkesan sederhana ini memang menjanjikan banyak hal, mulai dari produksi protein, kloning, hingga makhluk transgenik. Aplikasi paling utama yang cukup menggiurkan dari rekayasa genetika adalah terkait permasalahan gizi dan pangan, serta penyembuhan penyakit. Mungkin bisa dikatakan pemanfaatan rekayasa genetika sesungguhnya adalah mulia karena terkait peningkatan kualitas hidup manusia secara mendasar, namun pada pelaksanaannya, perkembangan ini akan membentur banyak kendala dan batasan-batasan yang tidak banyak disadari orang. Salah satu pemanfaatan dari rekayasa genetika adalah produksi protein dengan mengembangbiakkan bakteri yang sudah disisipkan DNA yang mengandung kode protein tersebut. Ketika bakteri disisipkan kode protein tertentu, kita bisa mendapatkan saripati protein terkait dalam jumlah besar seiring dengan berkembangbiaknya bakteri. Dengan cara seperti ini, protein menjadi seakan sebuah bahan hasil industri yang bisa diproduksi kapan saja. Apalagi protein seperti insulin atau interferon merupakan protein-protein yang sangat bermanfaat terutama di bidang medis.

Sangat mengagumkan bila kebermanfaatannya memang bisa dimanaatkan secara mulia murni untuk membantu manusia. Sayang, riset apapun, apalagi yang terkait rekayasa genetika, membutuhkan banyak modal, apalagi terkait produksi sesuatu dalam jumlah besar. Di sinilah uang bermain, peluang keuntungan dari rekayasa genetika membuat banyak pemodal mulai menciptakan dunia usaha baru: perusahaan rekayasa genetika. Mau tidak mau fenomena ini sangat memberi dilema profesor-profesor dan peneliti-peneliti. Pertanyaan menggelisahkan seperti apakah riset yang seharusnya tak memihak bisa didorong oleh motif mendapatkan laba, atau apakah kelak hasil penelitian dari rekayasa genetika bisa dibuat paten yang kemudian jadi rahasia dagang? Dilema seperti ini biasanya dijawab dengan mudah mengingat betapa tidak berdayanya peneliti tanpa modal dari manapun. Pemerintah maupun lembaga riset tidak banyak bisa berkutik mengingat uang yang digelontorkan bisa sangat banyak. Kalaupun berani memberi dana, biasanya didasari motif atau kepentingan tertentu. Dalam hal ini kebebasan akademis memang selalu menjadi terpojok.

Di sisi lain, terkadang manfaat yang begitu menggiurkan membuat kita lupa untuk berhati-hati. Prinsip sederhana seperti “bahaya jika belum terjadi maka belum bisa disebut bahaya” sering dijadikan pegangan kaum pemodal yang ambisius untuk mengembangkan teknologi ini habis-habisan. Ketidaktahuan kita pada sebagian hal tidak terlalu dipedulikan karena paradigma mekanistik yang begitu tertanam. Kegelisahan-kegelishan para ilmuan seperti bagaimana perilaku bakteri yang terlalu banyak ‘dimanipulasi’ dianggap kekhawatiran yang berlebihan.

Permasalahan yang terbentuk kemudian adalah ketika nafsu pengembangan rekayasa ini mulai menjurus ke organisme yang lebih kompleks. Percobaan pada virus atau bakteri mungkin selalu berhasil, tapi bagaimana dengan hewan, atau bahkan, manusia? Organisme kompleks sesungguhnya memiliki perilaku gen yang jauh lebih rumit ketimbang organisme uniseluler seperti bakteri. Suatu percobaan di UCLA (University of California, Los Angeles) mencoba memasukkan gen hemoglobin pada sel sum-sum tulang belakang seorang penderita anemia. Hasilnya? Nihil. Koordinasi gen-gen yang ada pada organisme kompleks merentang luas hingga pada keseluruhan jaringan pada organisme tersebut. Bagaimana sel-sel bisa membentuk spesialisasi (adanya sel otot, sel tulang, dll), padahal memiliki isi inti sel yang sama menjadi pertanyaan besar yang membuat manipulasi gen pada satu bentuk sel saja tidak akan berpengaruh apa-apa.

Hal yang perlu disoroti hal ini adalah sebarapa hak kita untuk memanipulasi makhluk hidup di luar proses naturalnya. Bioteknologi konvensional yang sejak dulu diterapkan masih memanfaatkan proses-proses natural yang ada pada makhluk hidup untuk mencapai tujuannya, sehingga alam sendiri secara keseluruhan tidak akan “terganggu”, namun apa yang diterapkan pada bioteknologi modern keluar dari proses naturalnya, sehingga akan mengganggu kestabilan alam. Manusia dengan berkembangnya teknologi mungkin memang semakin berkuasa pada alam, tapi seberapa berhak kita melakukannya sangat jarang terbahas mengingat etika bukanlah hal yang menarik dan sama sekali tidak menguntungkan. Kekhawatiran-kekhawatiran tertentu dianggap sebagai spekulasi yang tak berdasar, sehingga diabaikan begitu saja. Empirisme sains yang mana segala sesuatu yang belum dibuktikan tidak bisa dibilang benar menjadi kendala utama kebenaran etis. Apakah bahaya harus terjadi dulu sebelum kita bisa bilang bahaya? Banyak hal yang terjadi di alam tidak bisa dibuktikan begitu saja, namun harus dipahami secara menyeluruh sebagai satu kesatuan dengan kesadaran etis kita sebagai bagian dari alam.

Percobaan pada manusia mungkin memang begitu kontroversial, hingga akhirnya hewan dan tanaman pun jadi korban. Salah satu rekayasa genetika yang diterapkan pada hewan adalah kloning, yang mana mengembangkan secara massif makhluk hidup tertentu dengan inti sel yang sudah dimanipulasi, sehingga “hewan super” pun bisa diproduksi dengan jumlah banyak. Mungkin hewan derajatnya tidak setinggi manusia, tapi tetap saja mereka makhluk hidup. Persoalan etis yang muncul adalah karena prosedur kloning cenderung bersifat coba-coba sehingga tidak banyak yang berhasil dari sekian banyak percobaan. Pada percobaan kloning di Institut Roslin terkait domba Dolly, dari 277 embrio yang berusaha ditumbuhkan, hanya satu klon yang bertahan hidup. Apakah mengorbankan banyak makhluk hidup demi kepentingan sains dan teknologi bisa dibenarkan atau tidak menjadi permalasalahan etika yang sering diabaikan. Pandangan antroposentris yang mana seakan manusia adalah penguasa segalanya menyingkirkan etika sederhana dalam merawat dan memelihara makhluk hidup lain, teramasuk hewan. Menggunakan hewan yang dimotivasi hasrat meningkatkan pengetahuan medis dan membantu umat manusia saja tetap bisa menimbulkan persoalan etis, apalagi kenyataannya arah riset sering dimotivasi oleh kepentingan-kepentingan komersil

Terlepas dari hewan, objek yang paling berhasil dijadikan korban rekayasan genetika adalah tumbuhan. Sudah banyak kita mengenal istilah GMO (Genetically Modified Organism) sebagai produk utama rekayasa genetika. GMO-GMO pada tanaman tentu saja terkait bibit unggul, mulai dari yang punya banyak vitamin tertentu, hingga yang kebal pada serangga tertentu. Mungkin memang banyak manfaatnya, tapi melakukan sesuatu yang tidak alami tetap hanya akan menimbulkan permasalahan baru. GMO-GMO ini tentu saja disponsori oleh perusahaan-perusahaan bioteknologi yang memanfaatkan segelintir ilmuan untuk terus menerus menciptakan varian-varian baru tanaman untuk kemudian dipatenkan dan dijual. Mematenkan makhluk hidup saja sudah menjadi persoalan etika yang besar mengingat kita seakan “mencampuri urusan Tuhan” dalam hal penciptaan makhluk hidup. Terlebih lagi, penggunaan paten ini secara komersil jauh dari tujuan mulia yang sebenarnya untuk membantu umat manusia.

Marilah kita lihat satu per satu dampak dari perdagangan paten makhluk hidup tersebut. GMO-GMO yang diproduksi oleh korporsasi cenderung dibuat mandul, sehingga bijinya tidak dapat ditanami lagi berikutnya. Hal ini akan membuat petani-petani harus membeli bibit setiap kali panen tanpa bisa membiakkan bibit sendiri. Selain itu, pertanian jadi termekanisasi dan padat energi, menguntungkan petani dengan modal besar dan menyingkirkan petani tradisional dari tanah mereka. Di sisi lain, GMO akan menciptakan pertanian monokultur yang mana akan mengganggu keseimbangan ekologi tersendiri dan membawa resiko tinggi, karena sejumlah besar tanaman dapat dihancurkan oleh satu jenis hama saja. Persoalan ekologis lainnya adalah ketika suatu GMO dibuat kebal terhadap herbisida, yang mana justru akan memicu penggunaan besar-besaran herbisida itu oleh para petani, sehingga semakin terakumulasi padaproduk makanan yang dihasilkan kelak, padahal begitu berbahaya untuk dimakan. Untuk GMO yang dibuat kebal terhadap serangga atau hama tertentu, efek yang ditimbulkan justru akan membuat serangga terkait akan berevolusi semakin kuat dan memicu permasalahan baru. Pada beberapa kasus bahkan, seperti GMO yang diberi racun hasil produksi bakteri Bacillus Thuringiensis (Bt) buatan, bisa membahayakan banyak jenis hewan, termasuk yang bermanaat bagi ekosistem secara keseluruhan, dan juga membahayakan mikroorganisme penyusun ekosistem tanah karena racun Bt pada GMO akan terkumpul dalam tanah setelah panen.

Kembali pada Kebijaksanaan

Sebenarnya masih banyak contoh kasus ketidaksesuaian bioteknologi ketika diterapkan begitu saja pada ekosistem, seperti kisah beras emas hasil rekayasa genetika yang mengandung banyak vitamin A justru merusak rantai makanan dan mengganggu keanekaragaman hayati. Alam adalah satu kesatuan utuh kehidupan yang mana tidakbisa dipandang terpisah-pisah. Sayang, gabungan pandangan mekanistik sains-teknologi dan berkuasanya modal dalam dinamika dunia membuat alam mau tak mau dikotak-kotakkan dan dengannya memberi banyak efek yang tidak bisa dikatakan baik.

Alam diperkosa habis-habisan oleh teknologi dari semua sisi. Komponen matinya dikeruk habis dan diolah tanpa melihat dampaknya pada ekologi secara keseluruhan. Komponen hidupnya dipermainkan oleh beragam rekayasa hanya dengan persoalan etika yang menumpuk dan bahaya ekologi yang sering diabaikan. Keanekaragaman hayati terancam secara serius dalam beragam permasalahan ekologis. Padahal, sekali gen hilang di biosfer, ia tak akan pernah bisa kembali. Persoalan ini bisa mengancam seluruh lapis kehidupan. Dengan berkurangnya varietas gen-gen yang ada di biosfer, keseimbangan alam ini sebagai satu bentuk kehidupan semakin tergerus.

Seandainya memang bioteknologi bisa dimanfaatkan dengan hati-hati dan diniatkan untuk murni kepentingan khalayak, mungkin ia memang pantas untuk dikembangkan. Namun sayang, seperti halnya teknologi lainnya, kehati-hatian dan persoalan-persoalan etika cenderung diabaikan karena tidak “saintis” dan hanya bersifat spekulatif. Di tambah lagi, dilema besar dunia pengetahuan antara kebutuhan modal untuk meneliti dengan hilangnya netralitas akademis ketika mendapat modal dari kepentingan tertentu selalu menghantui. Sudah tidak bisa dipungkiri bahwa pihak perguruan tinggi sendiri pun mau tidak mau harus menjalin kerja sama sana-sini untuk bisa memiliki modal untuk penelitian. Jika sudah seperti ini, ilmu dan teknologi tidak akan pernah bisa netral.

Sebenarnya secara etika sudah sangat lancang bila kita menyentuh tataran genetika untuk dimanipulasi macam-macam, tapi tentu hal yang tidak punya standar kebenaran seperti etika hanya akan menghasilkan perdebatan panjang. Tapi bukankah memang memanipulasi alam sedari awal memang bukanlah hal yang baik. Beragam dalih keluar dari para pengembang teknologi yang secara umum menginginkan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada pada kehidupan, padahal kebanyakan dari permasalahan itu timbul akibat realita yang disingkapkan oleh teknologi yang ada sebelumnya. Kebergantungan kita pada alat sebenarnya sangat didasari pada rasa malas manusia yang begit natural, mengingat sebenarnya selalu banyak alternatif lain bisa digunakan selain teknologi.

Salah satu alternatif itu adalah apa yang dikenal dengan organic farming atau agroekologi. Ketimbang menggunakan teknologi rekayasa yang rumit dan melawan proses natural alam, kita bis amenggunakan teknologi sederhana yang didasarkan pada pengetahuan ekologis untuk meningkatkan hasil panen, mengontrol hama, dan membangun kesuburan tanah. Penciptaan multikultur dan rotasi jenis tanaman akan membuat serangga atau hama yang tertarik pada satu jenis tanaman akan hilang ketika diganti pada tanaman berikutnya. Pupuk-pupuk pun cukup menggunakan materi organik hasil dari siklus biologis.

Alam ini sudah menyediakan semuanya sedemikian rupa dengan sangat rapih dan mengagumkan. Siklus kehidupan, dari sinar matahari yang kemudian menumbuhkan tanaman, yang memberi makan hewan, yang bangkai atau kotorannya kembali bisa menyuburkan tanah merupakan konsep luar biasa yang tidak memerlukan rekayasa apapun. Petani organik selama ribuan tahun memanfaatkan siklus sederhana namun kompleks ini untuk membangun berhektar-hektar lahan yang subur dan produktif. Ekosistem adalah suatu jaringan kompleks yang “hidup”. Mempermainkan salah satu bagiannya hanya akan mengganggu kehidupanitu. Teknologi sedari awal seharusnya memang cukup mengikuti proses alam yang sudah ada.

Alam sesungguhnya hanyalah media pembelajaran dan penghidupan bagi kita semua, bukan sekedar objek untuk dimanipulasi sesuka hati. Banyak sekali yang bisa kita pelajari dari alam untuk diterapkan dalam kehidupan bila memang keinginan manusia adalah agar kualitas hidupnya meningkat. Penciptaan sistem dengan siklus tertutup, memandang suatu sistem sebagai satu keutuhan, dan bagaimana suatu sistem stabil karena peran-peran seimbang yang dimainkan oleh tiap komponen jaringan secara setara, serta pembelajaran-pembelajaran lainnya bisa dimanfaatkan pada apapun, termasuk sistem sosial sendiri. Penggunaan teknologi paling mulia memang hanya bila dimanfaatkan untuk menyingkap sebanyak mungkin pembelajaran untuk dipetik, bukannya menyingkap ragam cara baru untuk memanipulasi semesta dengan realita-realita baru.

Teknologi sudah pasti tidak bisa dihentikan perkembangannya. Terlalu naif bila lantas kita memusuhi teknologi dengan semua dampak itu sedangkan teknologi sudah begitu menubuh dalam hasrat dan nafsu natural manusia untuk terus ingin tahu dan ingin lebih mudah. Yang terpenting tentu adalah bagaimana kita mengarahkan teknologi ini bukan? Jika kelak paradigma mekanistik yang begitu menghantui dunia sains dan teknologi saat ini bisa disingkirkan dan digantikan dengan pandangan organik yang menyeluruh, kita mungki bisa saja membayangkan revolusi bioteknologi ke bentuk yang berbeda. Bioteknologi yang berawal dari hasrat untuk belajar dari alam ketimbang menguasai alam, menggunakan alam sebagai guru yang hidup daripada sumber daya belaka, memperlakukan jaring-jaring kehidupan sebagai konteks keberadaan kita dibanding sekedar sebagai suatu komoditas. Ya, bayangkanlah bioteknologi tersebut tidak akan melibatkan modifikasi genetik makhluk hidup, melainkan menggunakan rekayasa genetika untuk memahami desain halus alam dan menggunakannya sebagai model teknologi baru manusia, dengan mengintegrasikan pengetahuan ekologis ke dalam setiap proses dan rancangan teknologi. Belajarlah dari tumbuhan, hewan,mikroorganisme, bagaimana menghasilkan serat, pelastik, zat-zat kimia tak beracun, yang sepenuhnya dapat diurai secara ekologis, dan daur ulang yang berkelanjutan. Alam ini merupakan teknologi raksasa yang super canggih!

Pada akhirnya, manusia memang selalu seperti berhadapan dengan kemampuannya sendiri yang luar biasa. Hanya satu kunci yang dibutuhkan manusia sesungguhnya untuk dapat menggunakan kemampuan itu dengan baik dan hidup berkualitas: kebijaksanaan. Etika sebagai salah satu unsur kebijaksanaan sering diabaikan dan dianggap tidak penting dalam perkembangan ilmu dan teknologi. Selama ini teknologi selalu berkembang sekedar didasarkan pada rasa ingin tahu atau dorongan kepentingan tertentu. Manfaat-manfaat teknologi yang terlihat menjanjikan sering dijadikan dalih pembenaran buat mereka untuk terus menerus mengembangkan teknologi dengan membabi-buta. Pada akhirnya kecepatan berkembangnya teknologi jauh melebihi kecepatan manusia untuk dapat bijaksana mengelola dan memanfaatkannya. Tinggal menunggu waktu hingga alam, beserta manusia itu sendiri, hancur akibat dari kerakusan yang muncul berwujud teknologi. Entah kapanitu terjadi, atau mungkin, entah apakah itu akan terjadi atau tidak, cukup tanyakanlah pada diri masing-masing.

Nature holds the key to our aesthetic, intellectual, cognitive and even spiritual satisfaction.
– E. O. Wilson –

(PHX)

Alt Text

Kembali
Aditya Firman Ihsan

Aditya Firman Ihsan

Just a seeker of truth

rss researchgate issuu facebook twitter github youtube mail spotify lastfm instagram linkedin google google-plus pinterest medium vimeo stackoverflow reddit quora quora